"Pa, Ma, kenalin ini Devon. Pacar aku."
"Hah?" Kedua orang tua Arson menatap lekat pada Devon. Memicingkan matanya, memindai cowok bertubuh kecil itu dari atas ke bawah. Kemudian kembali menatap pada putra tunggal mereka.
Hal itu sudah mampu membuat Devon gemetar, gugup bercampur takut memenuhi dirinya. Dia semakin merapatkan diri, mencengkeram erat ujung baju yang Arson kenakan.
"Serius kamu pacaran sama cowok kaya dia?" tanya sang Papa membuka suara.
Devon memejamkan mata mendengar itu. Ada sengatan kecil di hatinya, seperti tercubit oleh perkataan ayahnya Arson. Devon benar-benar takut sekali mendapatkan penolakan, bayangan ditolak oleh ayahnya sejak dulu ternyata berdampak cukup banyak pada rasa percaya dirinya.
"Iya. Emangnya kenapa? Kalian masalah aku pacaran sama cowok?" balas Arson sedikit menantang.
Silahkan sebut Arson anak durhaka karena intonasi tidak pantas yang dia gunakan saat bicara dengan orangtuanya, tapi bagaimanapun Arson adalah anak mereka, dia tau dengan baik bagaimana kedua orangtuanya.
Satu-satunya wanita dewasa disana berjalan mendekati Devon. Sama sekali tidak berpaling menatap Devon yang bahkan tidak berani membuka mata. "Bisa-bisanya kamu mau pacaran sama Arson, nak? Astaga, anak selucu kamu? Yang bener aja!"
Spontan kedua mata Devon langsung terbuka. Menatap terkejut dengan perkataan Mamanya Arson itu. Tanpa sadar pipinya sudah bersemu merah.
Papanya juga mengangguk setuju. "Iya, mukamu keliatan gak cocok disamping dia yang imut. Kamu apain dia sampe mau sama kamu yang rebel gitu?" tanyanya memicing curiga pada anaknya sendiri.
Arson memutar bola matanya malas. Sudah dia duga kalau orangtuanya pasti akan bereaksi seperti ini.
"Aduh kamu gemes banget, yakin ini anak SMA?" tanya Mama sambil mencubit gemas pipi Devon, lalu merangkulnya agar lebih dekat.
Namun, Devon masih belum berani melepaskan pegangannya pada ujung baju Arson, dia mendongak, melempar tatapan ragu pada pacarnya itu.
Arson yang mengerti sinyal itu terkekeh, tanpa malu mengecup singkat bibir kecil milik Devon.
"Aduh dasar anak muda!" kata Papa sambil memijat pangkal hidungnya, merasa jengah melihat romansa picisan seperti itu.
Arson memilih abai, berbeda dengan Devon yang sudah semakin memerah. Rona pipinya sudah sewarna dengan strawberry matang, Arson jadi tergoda untuk menggigit dua pipi kenyal itu.
"Ini mau sampe kapan kita berdiri disini? Ayo ke dalem, duduk di sofa" ajak Sang Papa.
Mereka berpindah menuju ruang tamu. Mendudukan diri di sofa empuk yang terletak di tengah-tengah ruangan besar ini.
"Anak lucu, namanya siapa, hm?" tanya Mama yang bergeser mendekat pada Devon.
"Devon, tan-"
"Eitss! Kok manggilnya tante? Kan kamu pacarnya Arson, jadi manggilnya harus Mama juga sama kaya Arson dong. Ya kan, Pa?" katanya melempar pertanyaan pada suaminya yang duduk di sofa single paling ujung.
Pria dewasa itu hanya bisa mengangguk. "Iya, panggil aja Papa sama Mama, ya" katanya sambil tersenyum.
Sekarang Devon tau dari mana asal senyum menenangkan yang Arson miliki. Itu jelas didapat dari gen ayahnya ini. Dua laki-laki itu memiliki senyum yang sama persis, tipis dan tenang.
"Eh, Devon suka kue gak? Mama punya kue cokelat loh, sama ada cheese cake juga. Mau gak?"
Devon tanpa sadar mengangguk antusias, sebelum sesaat kemudian dia tersadar dan kembali menjaga sikapnya. "Eum...Devonnya suka kue" cicitnya malu-malu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Innocence [END]
Teen FictionSinister Series : 2 Sebelum membaca cerita ini, disarankan untuk melihat bio di profil lebih dulu!! Devon Abimana, ketua dari geng Alter, bertemu dengan Arson Juliard, yang merupakan anggota geng musuh. Arson yang saat itu tergerak membantu Devon me...