059

3.5K 319 68
                                    

Arson dan Devon melangkah tenang menuju tempat motor Arson terparkir. Sudah beberapa hari sejak semuanya terjadi, sekarang masalah Astral dan Alter sudah bisa dikatakan selesai dengan Sinister yang menjadi sekutu dari Alter yang telah diambil alih oleh Yasa sebagai ketua.

Mengesampingkan hal itu, Arson sedikit bingung karena dia menyadari ada sesuatu yang berbeda dari Devon saat ini. Sejak mereka berjalan bersama, Devon tidak banyak bicara, dan hanya menundukkan kepala sambil terus memainkan ujung lengan jaket yang Arson kenakan.

Begitu mereka sampai di motor, Arson akhirnya memutuskan untuk bertanya. "Sayang, kenapa diem aja?" tanyanya dengan suara lembut seperti biasa, dengan tangan yang mengusap kepala Devon, membuat rambut pacarnya itu sedikit berantakan.

"Arson..." Devon merengek sambil mendongakkan kepala, memperlihatkan sorot matanya yang tampak gelisah. "Minggu depan udah ujian..." rengeknya lesu.

Arson mengernyitkan alis, tidak mengerti. "Iya, terus kenapa sayangnya Arson ini sedih?"

Devon mendesah, merasa sedikit kesal karena Arson yang tidak mengerti kegelisahannya. "Ihh! Kan Devonnya sempet gak masuk sekolah lama karena sakit di rumah sakit. Gimana kalo Devon gak bisa jawab soalnya pas ujian nanti? Ish, takut banget tau! Emangnya Arson gak takut?" Suaranya semakin tinggi, merengek dengan nada frustasi.

Arson justru menggeleng dengan bingung, menanggapi perkataan Devon.

Sebenarnya, Arson memang tidak pernah mengkhawatirkan hal-hal seperti ini. Dia selalu berpikir nilai ujian bukanlah segalanya. Yang terpenting adalah dia bisa menerapkan hal yang telah diajarkan pada kehidupan sehari-hari, maka itu sudah cukup. Lagi pula, keluarganya tidak pernah menuntutnya untuk mendapatkan nilai yang tinggi, jadi nilai tidak pernah menjadi beban baginya.

"Kok bisa Arson gak takut? Padahal Devonnya takut banget loh ini," keluh Devon sambil mendesah lelah.

"Gak tau ya, cuman emang gak takut aja," jawabnya santai. "Gini loh. Nilai itu cuma angka, selama kamu ngerti sama konsep dasarnya, itu udah cukup. Kalo masih gak ngerti, ya nanti bisa belajar lagi. Lagian, nilai ujian gak nentuin siapa kita, sayang."

Devon melongo, masih tidak percaya dengan ketenangan Arson. "Iya bener, tapi tetep aja takut..." keluhnya sambil menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan perasaan gelisah.

Melihat itu. Arson tersenyum tipis, lalu duduk di atas motornya. Dia mengulurkan tangan untuk mengusap bibir Devon yang digigit oleh empunya. "Jadi ini aku harus gimana dong biar kamunya gak takut lagi?" tanyanya lembut.

Devon hanya mengerucutkan bibir, matanya masih penuh kekhawatiran. "Umm... gak tau... Ih aduh, emang Arson gak bisa ajarin Devonnya gitu? Eh tapi Arson juga kan gak sekolah karena ikut temenin Devon di rumah sakit," Devon menghela napas diiringi decak kesal, merasa semakin frustasi.

Arson meringis. Sekalipun jika dia mengikuti pelajaran dengan normal, dia tetap tidak bisa membantu Devon karena perbedaan jurusan mereka. Devon adalah anak IPA, sementara Arson anak IPS.

"Hmm... sebentar ya, sayang!" titah Arson sambil sibuk mengetik sesuatu di ponselnya. Jari-jarinya bergerak cepat seakan tahu persis apa yang harus dilakukan. "Ayo naik! Aku tahu siapa yang bisa bantu ajarin kamu buat ujian nanti."

Devon memandang Arson dengan wajah penuh harap, sedikit tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Iya? Siapa?" tanyanya antusias.

"Bang Fino," jawab Arson.

"Hah?" Devon langsung terdiam. Dia mengingat sosok Fino yang selalu tenang, tapi terlihat menyeramkan. Meskipun Devon tau, Fino sering membantunya,  tapi tetap saja Devon merasa gugup dan takut kalau harus belajar dengannya.

Secret Innocence [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang