Pulang...
Dimana tempat bernama rumah itu berada?
Apa terletak pada sebuah bangunan kokoh yang berdiri namun di penuhi dengan jeratan rantai.
Apa terletak dalam keluarga yang lengkap namun di penuhi keegoisan.
Atau, definisi rumah yang sebenarnya itu berubah wujud dari rasa nyaman kita pada seseorang?
Lantas, bagaimana jika tidak ada satupun rumah yang berhasil membuatku tenang dan nyaman. Apa aku tak boleh pulang hanya untuk beristirahat sejenak sambil mengatakan hal yang biasa orang lain katakan.
"Aku pulang."-
"D-dimana Ibu??"
Seruan itu membuat dua perawat yang baru keluar dari kamar rawat pasien menoleh ke arahnya. Mereka menatap sendu ke arah Semesta yang terlihat ngos-ngosan sehabis berlarian di sepanjang koridor rumah sakit.
"Maaf, saya terpaksa menyuntikkan obat tidur pada Bu Arum." balas dokter yang di percaya untuk menangani Ibu nya. "Sejak tadi pagi Bu Arum terus mengamuk dan belum memakan apapun." tambahnya.
Semesta menundukkan kepalanya. "Dok, kapan Ibu saya sembuh?" tanyanya dengan suara yang sedikit parau, menahan rasa sesak yang kini memenuhi rongga dada nya.
Dokter mengusap bahu Semesta cukup lama. "Trauma paska kejadian itu memang sulit di sembuhkan, perlu waktu yang lama. Ada beberapa pasien dengan kasus yang sama berhasil di sembuhkan, ada juga yang memilih untuk mengakhiri hidupnya dan sebagian orang juga memilih untuk melupakan semuanya. Mereka yang memiliki trauma tertentu akan sulit untuk di ajak hidup normal lagi, mereka harus memulai semuanya dari awal lagi. Kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk menyembuhkan trauma yang Bu Arum alami."
Setelah mengatakan hal tersebut, dokter bernama Ilham itu memutuskan untuk menemui pasien lain. Sementara dirinya memilih untuk segera menemui Arum yang kini terbaring lemah di atas bangsal rumah sakit. Semesta menundukkan kepalanya, menggenggam erat jari jemari Arum yang terasa begitu dingin dari suhu normal tubuhnya.
"Bu, Esta pulang." lirih Semesta dengan cairan bening yang kini telah menciptakan aliran sungai di kedua pipi nya.
Di kecupnya punggung tangan Arum, paras cantik yang di miliki Arum kini tergantikan dengan pipi tirus serta kulit kusam tak terawat. Jauh berbeda dari Arum yang di kenalnya. "Ibu cepet sembuh ya? Esta sendirian lagi soalnya."
"Tau enggak Bu? Wanita itu makin berkuasa di rumah kita. Ahh, bukan." Semesta menggeleng pelan, mengeratkan genggaman nya pada tangan Arum. "Dia berkuasa di penjara itu Bu." ralatnya dengan senyuman miris yang ia tunjukan di wajahnya.
Ia merogoh medali di dalam tasnya, meletakkan benda berbentuk kalung dengan koin emas yang di ukir dengan namanya itu di atas nakas yang berada tepat di samping bangsal tempat Arum terbaring.
"Kalau Ibu ingat, pasti Ibu bakalan bilang aku ini jagoan Ibu. Beda sama Papah yang selalu bilang aku kurang terus haha." Semesta memandang langit-langit ruangan serba putih itu. Menahan derai air mata yang terus saja mengalir dari pertahannya.
Ia akan menjadi lemah jika hal itu bersangkutan dengan Ibu nya, dan orang baru dalam kisah hidupnya yang memiliki nama unik, Alegori.
Tetapi mana boleh dia menjadi orang lemah di dunia yang keras ini? Dunia yang di penuhi dengan penipuan serta orang-orang yang semaunya sendiri. Jika putus asa adalah akhir dari ceritanya, maka itu bukanlah Semesta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alegori ; Haechan, Mark, Jeno.
Teen Fiction"Ka, aku takut sendirian, Kaka bisa kesini?" "Sorry gue lagi di rumah Darrel sekarang." "Kak sakit..." - "Mau Lo apa sekarang?" "Sekali aja Lo ngertiin gue, bisa enggak? Enggak kan? Percuma Lo nanya mau gue apa ribuan kalipun jawabannya tetep sama...