Beberapa Poto yang berhasil pesuruhnya ambil membuat rahang nya mengeras, urat-urat lehernya nampak menonjol dari biasanya. Sudah dari dua jam yang lalu Reno berada di rumah dan melihat poto Semesta yang sedang berduaan dengan pemuda kelas bawah yang tidak lain adalah Alegori Hanaya.
Mendengar pintu rumah yang berderit disusul dengan suara langkah kaki putranya, Reno segera bangkit dari duduknya. Melayangkan pukulannya telak di wajah Semesta ketika putranya sudah menampakkan batang hidung didepan nya.
Tercekat, kaku, dan rasa sakit bercampur dalam hitungan detik. Baru saja siang tadi ia lepas dari cekikikan yang dapat memenjarakan karena berhasil menghabiskan moment berdua bersama Alegori, dan hal itu kini hilang di gantikan dengan wajah marah Reno yang berdiri di depannya.
"SEMESTA TRIANGGA!" suara teriakan Reno menggema dengan lantang di tengah ruangan keluarga Triangga.
"Sudah berani kamu membantah ucapan saya, hah?!"
Semesta memegangi rahang yang terasa bergeser akibat pukulan Reno yang tidak main-main.
"Kamu sudah berjanji untuk menjauhinya, dan sekarang kamu sudah berani melewati batas itu Semesta?"
"Gue sayang dia." kalimat itu lolos begitu saja dari bibir Semesta. Ia tidak mempunyai alasan lain selain itu, karena bagaimanapun juga alasan tersebut tidak sepenuhnya salah, Semesta memang menyukai Alegori dengan sungguh-sungguh. Namun, alasan itu adalah awal mula dari perlakuan kasar Reno yang menyuruh kedua anak buahnya yang berada diluar rumah untuk masuk dan menghajar Semesta habis-habisan.
Darah segar dari luka lebam yang berasal dari sudut mata dan bibirnya terasa asin seperti besi berkarat. Pandangannya mulai rabun, yang ia ingat terakhir kali sebelum menutup mata adalah tendangan telak yang membuat sekujur tubuhnya membeku, sampai ia kehilangan kesadaran.
Reno menatap tubuh ringkih Semesta yang sudah terbaring tak sadarkan diri di lantai dingin rumah mewahnya, bercak darah mengotori lantai marmer berwarna putih itu. Ia kembali menyuruh kedua anak buahnya untuk membawa Semesta kedalam kamarnya, membiarkan putranya terbaring dengan penuh luka yang begitu menyakitkan tanpa perawatan.
"Alegori, saya tidak akan membiarkan ini semua terjadi. Semesta hanya boneka yang dapat saya kendalikan sesuka hati. Bukan untuk melawan seperti ini."
-
Paginya, ketidakberuntungan juga menimpa Alegori. Pemuda yang kini memakai Hoodie hitam itu harus menahan emosinya ketika beberapa murid berhasil melempari telur dan tepung ke arah Alegori dari lantai dua. Bau amis yang begitu menyengat dan lengket mulai terasa.
Mereka tidak punya belas kasihan, suara tawa yang menggema seperti perayaan kemenangan atas apa yang sudah mereka perbuat. Darrel tertawa paling nyaring sambil merekam kejadian tersebut.
"Masih berani datang ke sekolah yang mulai jadi neraka buat lu ya, Al?? Mending lu out aja dari sini! Gue jijik liat psychopath yang berdiri pake muka sok jadi korban kayak gitu." Darrel menggunjingnya di depan semua orang.
Tatapan remeh yang entah sejak kapan terasa menakutkan, Alegori membenci tatapan itu. Mereka menatapnya dengan penuh kebencian, jijik, dan meremehkannya.
"Psychopath kayak lu mati aja!" hardik mereka secara bergantian dengan perkataan buruk lainnya.
Alegori menggeleng kuat, menutup telinganya rapat-rapat dan bersamaan dengan itu mereka kembali melemparinya dengan telur-telur yang membuat Alegori mulai mencium bau amis menyengat yang berasal dari tubuhnya.
"Mati aja!"
"Psychopath nggak pantes idup!"
"Jijik!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Alegori ; Haechan, Mark, Jeno.
Teen Fiction"Ka, aku takut sendirian, Kaka bisa kesini?" "Sorry gue lagi di rumah Darrel sekarang." "Kak sakit..." - "Mau Lo apa sekarang?" "Sekali aja Lo ngertiin gue, bisa enggak? Enggak kan? Percuma Lo nanya mau gue apa ribuan kalipun jawabannya tetep sama...