Sampai kapan festival memparodikan takdir ini berakhir, Tuhan? - Alegori Hanaya.
-
"Lo ... Kasian sama gue Ta??" Alegori kembali mengulang pertanyaannya, membuat wajah Semesta memucat mendengarnya.
Mungkinkah, ini karena campur tangan Ayahnya? Sejak kapan? Apa orang-orang suruhan Reno masih suka memata-matai nya? Sampai kapan?
Alegori membuang napasnya kasar, dia menjauh dari Semesta sambil mengangkat tangannya. "Gue pikir Lo berbeda Ta, ternyata sama aja. Gue nggak perlu di kasihani Ta."
"Le, bukan gua." sahut Semesta cepat.
"Siapa yang tau? Bokap Lo? Atau siapa Lo gitu?"
"Alegori. Gue bahkan enggak tau sejak kapan bokap lu bebas dan bokap gue ikut campur. Gue juga nggak tau kenapa Lu bisa nyakitin Marka separah itu sampai bikin dia masuk rumah sakit dan Lo punya catatan kriminal. Le, Lo sadar? Lo egois."
"Apa?"
"Harusnya Lo terimakasih karena bokap Lo kemungkinan bebas karena keluarga gue."
Alegori menggigit bibir dalamnya, menahan luapan emosi yang lagi-lagi hampir membelenggu dirinya. Alegori tertawa sumbang kemudian menepuk bahu Semesta beberapa kali sebelum berlalu meninggalkannya. Alegori berhenti untuk menghadap Semesta, mereka berjarak sepuluh langkah. Ada gurat kecewa yang ia tunjukkan dari ekspresi di wajahnya.
"Thanks, gue semakin terlihat lebih rendahan ketika berhadapan dengan Lo Semesta. Jauh lebih hina, di bandingkan gue yang koar-koar di depan Marka." katanya di sertai ringisan kecil, sebuah goresan tanpa wujud seperti tengah menyayat hati dan perasaannya.
Semesta? Tidak tau apa-apa tentang hidupnya, dia hanya orang baru yang 'hampir' masuk kedalam kehidupannya. Joan bebas dari penjara, Alegori harus senang dan merayakan hal itu dengan penuh suka cita? Tidak.
Penjara abadi yang bernama 'rumah' itu, akan kembali menyiksa nya.
Tidak kah Semesta pikir kalau dia capek harus menjadi anak yang pura-pura tegar ketika tangis bercampur darah itu terus di rasanya?
Tidak kah Semesta pikir kalau hidup dengan perasaan yang hampir mati itu enak? Tidak. Alegori bahkan berani bersumpah bahwa dia akan rela angkat tangan berjam-jam, bahwa dia tidak akan pernah sanggup menerima ketidakadilan yang terjadi padanya.
Semesta, siapa yang akan iri melihat kehidupan sempurna nya? Meskipun Alegori tau, tidak ada orang yang terlahir sempurna di muka bumi ini. Namun, Semesta setidaknya jauh lebih beruntung karena dapat merasakan rasanya bersantai-santai dan menikmati masa mudanya dengan belajar ataupun bermain, tidak sepertinya yang harus bergulung dengan keringat, pekerjaan, dan memiliki nilai yang penuh dengan tinta merah.
"Sejak awal, kita bukan temen, Ta." serunya, menjadi penutup pembicaraan mereka. Alegori berlalu pergi meninggalkan Semesta yang mematung dengan perasaan campur aduk di tempatnya.
Tangannya mengepal angin yang tak berwujud, lagi-lagi dia melakukan kesalahan besar akibat perkataan nya. Lagi-lagi seseorang yang berarti baginya, pergi meninggalkannya. Dan lagi-lagi, hanya kesendirian yang Semesta terima.
Alegori pergi menjauh, setitik kecil sampai kemudian menghilang dari penglihatan Semesta.
"Gua manusia hina, yang enggak butuh rasa kasihan dari orang lain." begitu kalimat yang terngiang di telinga Semesta.
-
Orang-orang yang berlalu lalang di depannya, menunjukkan ekspresi yang berbeda-beda, dari yang ketakutan melihat baju seragam yang berlumuran darah, ada yang mengira dia orang gila atau sedang syuting film, beberapa anak kecil juga menangis melihat Alegori yang berjalan seperti mayat hidup itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alegori ; Haechan, Mark, Jeno.
Novela Juvenil"Ka, aku takut sendirian, Kaka bisa kesini?" "Sorry gue lagi di rumah Darrel sekarang." "Kak sakit..." - "Mau Lo apa sekarang?" "Sekali aja Lo ngertiin gue, bisa enggak? Enggak kan? Percuma Lo nanya mau gue apa ribuan kalipun jawabannya tetep sama...