Dunia yang sejatinya melekat dengan sebuah kehidupan, selalu menciptakan hal-hal yang tak pernah terduga. Baik dan buruk adalah bentuk perwujudan dari sebuah takdir yang dipermainkan oleh sang pencipta.
Di antara puluhan ribu kebahagiaan dan orang-orang baik, mengapa kita berdua harus berada dalam situasi yang pelik? Dikelilingi orang-orang yang tak memiliki hati nurani.
Apa kematian adalah jawaban dari takdir kita yang membahagiakan? Kami lelah mengemis untuk meminta pengertian orang lain, kami berdua terlalu rapuh untuk membela diri, kami berdua hanya dua anak yang tak berdaya.
Kami tidak mengerti bagaimana cara berpikir orang dewasa mengenai sebuah hubungan, kami hanya bertahan untuk mengisi kekosongan dalam diri masing-masing. Kami hanya ingin bahagia di antara goresan luka yang tercipta.
Kita...
Tidak pantas hidup di dunia yang miskin belas kasihan ini.
-
-
-
"Dia sama sepertimu, menjijikkan!"
Suara itu bergema tinggi di dalam ruangan tanpa ventilasi udara ataupun jendela, gelap, dan tertutup. Disana, terbujur kaku seorang wanita yang mengenakan baju pasien rumah sakit jiwa, memeluk lututnya dengan tubuh yang bergetar hebat.
Luka tamparan yang membekas, tercetak jelas di wajah tirus nan pucatnya.
Pagi tadi Reno sengaja berkunjung ke rumah sakit tempat Arum di rawat, dia mengatakan kepada perawat disana untuk membawa Arum jalan-jalan, dan untuk sementara waktu Reno meminta agar Arum tinggal bersamanya.
Arum sangat bahagia melihat kedatangan Reno setelah sekian lama, ia terhanyut dalam sorot mata dingin milik suaminya.
Tak masalah jika Reno membawanya kemanapun, yang terpenting bagi Arum adalah menjadi yang terbaik bagi suaminya.
Tarikan di rambut belakang, membuat Arum mendongak dengan paksa, air mata yang terus berjatuhan tak kunjung membuat hati Reno Triangga gentar untuk memiliki belas kasihan kepada seorang wanita yang sudah tak berdaya di bawah kakinya.
"Anakmu, anakmu mengecewakan ku kesekian kalinya, Arum!" bentak Reno.
"Maaf, maaf, maaf..." Arum terisak, memohon ampun dengan kedua tangan memegang kaki Reno.
"Semesta adalah alat! Dan sekarang, anakmu itu telah berbuat sesuatu yang sangat menjijikkan dengan mencintai sesama jenis!"
"Bukan itu saja, Semesta juga sudah berani mengabaikan perintahku, dan selalu bertindak seperti pemberontak! Apa itu hasil didikan mu hah?!" Reno semakin mencengkram rambut Arum.
Wanita itu menjerit kesakitan, matanya berkabut akibat lelehan air mata yang terus menghalangi pandangannya. "Maaf, maaf. Aku akan menghukumnya, aku akan menghukumnya." kata Arum terbata-bata.
Reno menghela napas kasar, mendorong kepala Arum dengan tidak manusiawi. Namun Arum hanya bisa diam dan menangis, memaklumi tindakan suaminya yang selalu berperilaku kasar. Yang ada di pikiran Arum hanya cara untuk menghukum anaknya, Arum membenci Semesta, karena Semesta tidak bisa memuaskan ego Ayahnya sendiri.
Arum ingin Semesta di akui dimata Reno, Arum mau Semesta menuruti segala perintah Reno dan tidak membuatnya marah. Karena mereka berdua bukanlah siapa-siapa tanpa Reno.
"Hahh, membuatku kesal!" teriak Reno marah. Ia hendak pergi meninggalkan ruangan itu, namun kakinya segera ditahan oleh Arum yang bersujud di depannya.
"Mas, jangan pergi! Jangan pergi lagi..."
"Singkirkan tanganmu." dingin Reno, Arum menggigit bibir bawahnya kemudian menurut untuk segera menyingkirkan tangannya dari kaki Reno. Membiarkan pria itu berlalu pergi dengan suara pintu terkunci.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alegori ; Haechan, Mark, Jeno.
Novela Juvenil"Ka, aku takut sendirian, Kaka bisa kesini?" "Sorry gue lagi di rumah Darrel sekarang." "Kak sakit..." - "Mau Lo apa sekarang?" "Sekali aja Lo ngertiin gue, bisa enggak? Enggak kan? Percuma Lo nanya mau gue apa ribuan kalipun jawabannya tetep sama...