𝔅𝔞𝔟 𝔡𝔲𝔞 : ༺𓆩𝕌𝕟𝕕𝕖𝕣 𝕥𝕙𝕖 ℝ𝕒𝕚𝕟𓆪༻

199 24 9
                                    

Eren menatap pria bersurai hitam itu perlahan melangkah pergi. Ia tak tau di mana yang salah, tadi ia hanya berniat membantu, tak lebih.

Matanya beralih ke dua orang yang masih saja berpelukan. Tampak terkejut dengan apa yang terjadi.

"Ekhem..." Eren berdehem untuk menyadarkan kedua orang itu.

Hange dan Armin lantas mengakhiri acara pelukan mereka. Keduanya tertawa canggung, menatap rak yang kini berantakan.

Entah ke mana sang pustakawan saat ini, mungkin sebentar lagi akan datang untuk membereskan semuanya.

"Maaf ya, Levi memang seperti itu," ujar Hange sambil mengusap tengkuknya. "Dia tak begitu suka berkontak fisik dengan orang-orang. Apalagi cara kau memegangnya tadi agak ... ya kau tau maksudku."

Eren menatap pintu yang baru saja dilalui Levi. "Apa yang menyebabkannya menjadi seperti itu?"

Gadis itu menggeleng seraya mengangkat kedua tangannya setinggi dada. "Aku tak tau apa pun. Mungkin berkaitan dengan masa lalunya."

Di sisi lain, Levi berhenti di pohon besar halaman belakang sekolah untuk sekedar menarik nafas.

Ia merosotkan tubuhnya lemas di batang pohon itu, menyisir rambutnya ke belakang, diiringi helaan nafas. Levi tak ingin terus lari dan bersembunyi. Tapi pikiran itu melunturkan tekadnya.

Hembusan angin yang lembut meniup mata Levi yang mulai menutup. Ia berharap saat ia membuka mata lagi, bel pulang sudah berbunyi, tanda dari berakhirnya MPLS sialan ini.

***

Entah sudah lewat berapa lama sejak Levi tertidur di bawah pohon rimbun itu. Jika bukan karena tetesan air yang jatuh ke hidungnya, Levi mungkin tidak akan bangun sampai malam tiba.

Saat ia membuka mata langit sudah mendung. Tetes demi tetes air hujan mulai jatuh membasahi bumi, termasuk dirinya.

Levi mengumpat dalam batinnya. Sembari mengumpulkan kesadaran, ia berlari menuju halte bus yang kebetulan tak jauh dari gerbang belakang sekolah.

Kakinya tak secepat hujan. Saat ia sampai semua pakaiannya sudah basah semua. Ia sedikit menggigil saat hembusan angin mengenai tubuhnya.

Mungkin ia takkan bisa kembali dengan cepat, melihat betapa semangatnya tetesan air ini turun. Levi ingin segera kembali ke rumah dan menyeduh teh hitam kesukaannya.

Ia mengambil tempat di bangku halte yang paling ujung, menyilangkan kedua kakinya dan menghadap agak serong ke kanan.

Tak lama setelahnya, Levi mendengar suara kecipak air yang semakin jelas. Seseorang berlari ke arahnya. Ia mencoba tak peduli, palingan orang itu juga ingin berteduh di halte ini.

Sampai suara familiar membuatnya lantas menoleh.

"Levi? Kau belum pulang?"

Levi meneguk ludahnya, alarm waspada di kepalanya tiba-tiba berbunyi.

Pria dengan rambut coklat sudah berdiri di sana, lengkap dengan payung serta hoodie hitamnya. "Bisa aku duduk di sebelahmu? Aku tak akan terlalu dekat," ujar pria itu. Ah, dia memahami Levi dengan cepat, Eren.

Levi hanya menjawab dengan gumaman pendek. Eren menutup payungnya dan mengambil tempat di ujung lain bangku, menciptakan jarak yang begitu besar di antara keduanya.

Levi sebenarnya tak mempersalahkan dekat atau jauhnya jarak. Yang dilakukan Eren malah membuat Levi merasa canggung dan tidak enak.

Levi berdehem kecil. "Kau tak perlu sejauh itu, ini sudah bukan zaman Covid-19," ujar Levi tanpa menatap Eren.

Tanpa melihat pun, Levi tau jika saat ini Eren tengah tersenyum. Pria itu segera menggeser posisinya untuk lebih dekat ke Levi.

"Kenapa belum pulang?" Eren mulai berbasa-basi untuk memulai percakapan.

"Ketiduran tadi."

Eren mengangguk. Hening beberapa detik, sebelum pria itu kembali bersuara. "Gak nanyain balik?"

Levi lantas menoleh. "Bukan urusanku mengapa kau belum pulang."

Eren kicep. Ia sudah kehabisan bahan obrolan. Eren tidak ingin menyia-nyiakan waktu berdua dengan Levi seperti ini. MPLS sudah berakhir hari ini, mungkin akan sulit bagi Eren untuk menemui Levi ke depannya. Ia kemudian merogoh sesuatu dalam ransel hitamnya.

Aroma petrikor yang sedari tadi masuk di hidung Levi, kini digantikan oleh bau samar-samar teh yang menyegarkan. Ia tak bisa tidak melirik ke arah Eren yang saat ini tengah menuangkan sesuatu ke cangkir putihnya. Di kepala Levi kini hanya ada satu pertanyaan.

Dari mana datangnya termos ramping serta cangkir itu? Jika hanya termos, itu masih wajar, tapi kalau dengan cangkirnya? Yang lebih penting, aroma teh hitam favoritnya saat ini tengah menggoda Levi. Ahh, pasti sangat enak jika meminumnya sekarang.

"Kau bisa sakit jika terus kedinginan seperti itu. Lihat, seragammu juga basah," ujar Eren sembari menyodorkan cangkir itu. "Mau teh?"

Mau terima, takut jatuh gengsi. Mau nolak, sayang banget. "Baiklah kalau kau memaksa," ujar Levi sambil menerima minuman itu.

Eren berpikir, kapan ia memaksa Levi? Ia hanya menawarkan, ditolak pun tak apa. Lupakan, sudah bagus Levi menerimanya.

Levi menatap tepat ke tengah air teh yang nampak masih bergoyang, asap mengepul hingga mengenai wajahnya.

Ia kemudian menyesap minuman itu dengan perlahan, menikmati setiap tegukan hangat yang mengaliri kerongkongannya.

"Bagaimana?" tanya Eren meminta pendapat Levi.

"Lumayan." Sebenarnya jauh dari kata lumayan.

Walau Levi tak berbicara pun Eren tau jika pria itu benar-benar menikmati tehnya, dapat ia lihat dari bagaimana Levi terus menyeruput isi cangkir itu.

"Aku bisa membuatkan sebanyak yang kau mau ...."

Levi memikirkan maksud dari kalimat yang belum selesai itu. Jika mau minum teh juga dia bisa buat sendiri, di kafe juga banyak yang lebih baik dari ini.

Tapi entah mengapa, rasa teh yang ia minum kali ini terasa lebih enak.

"..., kau bisa datang padaku kapan pun kau mau," ujar Eren menyelesaikan kalimatnya.

Levi menatap pria itu lekat-lekat. "Untuk apa? MPLS sudah berakhir, itu artinya aku sudah menyelesaikan tanggung jawabku terhadapmu. Tak ada urusan apa pun lagi."

Untuk sesaat Eren terdiam kehabisan kalimat. Untunglah otaknya encer jadi ia bisa memikirkan kalimat yang tepat dengan cepat.

"MPLS berlangsung dari pukul 07.00 pagi sampai 14.00 siang. Sementara kau hanya menemaniku selama beberapa menit. Itu artinya kau masih hutang kurang lebih 7 jam untuk bersamaku."

Mulut Levi terbuka, kemudian menutup lagi. Tadinya ia ingin membantah, tapi jika dipikir lagi, perkataan pria di depannya ini ada benarnya juga.

Eren tersenyum melihat reaksi Levi. "Jadi, bisakah aku memiliki waktu itu?"

To Be Continued

𝕄𝕚𝕤𝕥𝕒𝕜𝕖𝕤 • 𝔼𝕣𝕖𝕟 𝕩 𝕃𝕖𝕧𝕚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang