𝔅𝔞𝔟 𝔱𝔲𝔧𝔲𝔥 : ༺𓆩𝔹𝕝𝕒𝕟𝕜𝕖𝕥𓆪༻

111 13 69
                                    

Paras tampan itu seakan sudah menjadi makanan sehari-hari Levi. Pasalnya tak ada sehari pun yang terlewat tanpa kehadiran Eren. Pria itu akan selalu punya alasan untuk menemuinya, baik itu saat di sekolah, di apartemen, ataupun di rumahnya.

Saat akhir minggu, Eren akan datang untuk menginap, dan jika itu hari biasa, dia akan tetap tinggal hingga senja. Apa yang dilakukannya? Tidak ada yang berarti. Mengerjakan tugas sekolah, makan, mandi, menjahili Levi sedikit, kemudian tidur. Semua itu sudah berlangsung hampir sebulan sejak MPLS mereka.

Seperti sekarang contohnya, ketika Levi tengah mengerjakan tugas biologinya, Eren hanya diam, berbaring telentang di karpet berbulu doraemon milik Levi, menatap lurus ke langit-langit. Sesekali menggumam tak jelas dan berguling-guling.

Sebelumnya Levi telah membuat peraturan. Jika ingin tetap di sini, maka diamlah.

"Levi, nanya dikit boleh?"

Awalnya Levi ingin tetap diam dan mengabaikan pria itu, tapi lama-lama ia kasihan juga. "Hm."

"Tinggal di sini harus bayar kan tiap tahunnya?"

Levi mengangguk.

"Lalu kenapa kau lebih memilih tinggal di sini daripada di rumah?" Eren mengubah posisi telentangnya menjadi tengkurap.

Goresan bolpoin itu terhenti diikuti dengan helaan nafas Levi yang ikut tersendat. Netra kelabunya bergerak-gerak gelisah.

Semua itu tak luput dari pengelihatan tajam Eren. Ia lantas mengubah posisinya menjadi duduk. "A–ah maaf! Aku tak seharusnya bertanya!"

"Rumah itu punya kenangan buruk. Aku tidak suka tinggal di sana," kata Levi sembari melanjutkan tulisannya.

Eren mengangguk perlahan. "Itu mudah dimengerti."

"Sekarang giliranku. Apa kau tidak bosan kemari setiap hari?" Levi bertanya tanpa menolehkan kepalanya.

"Sama sekali tidak."

"Kenapa?"

Eren tersenyum tipis. Matanya tak pernah sekali pun lepas dari Levi. "Bagaimana mungkin aku bisa bosan jika penghuni rumahnya adalah kau?"

Tolonglah! Kata-kata itu sudah pasaran di sosial media, hanya beda pemilihan kalimat saja! Tapi kenapa ketika Eren yang mengatakan Levi tak bisa menahan senyumnya?

Senyum itu amat tipis dan hanya terjadi sepersekian detik, kau tak akan bisa melihatnya jika tak memperhatikan. Tapi Eren yang tak pernah melepaskan tatapannya barang sedetik pun pada Levi sudah pasti melihatnya walau sekilas. Ah, andai saja pria itu bisa tersenyum lebih lama, pasti akan sangat manis.

Ekspresi wajahnya kembali ke setelan biasa, acuh tak acuh. "Kalau begitu diamlah."

Tak ada lagi suara, pria itu benar-benar diam.

Satu jam berlalu tepat setelah Levi meletakkan bolpoin ke meja dan meregangkan punggungnya. Semua tugas sekolahnya akhirnya selesai. Saat ia melirik jam analog di dinding, benda itu menunjukkan pukul tujuh malam lewat 15 menit.

Matanya beralih menatap Eren yang kini sudah tertidur dalam posisi tengkurap di karpet berbulunya. Astaga, apakah dia terlelap lantaran terlalu lama diabaikan? Kelopak mata itu terpejam, menyembunyikan iris hijau yang selalu berkilat semangat. Dengkuran halus terdengar, menunjukkan betapa damai tidurnya.

Levi bangkit dari kursi kemudian mendekati pria itu. Ia mengambil posisi duduk dekat dengan Eren, kedua lututnya ditekuk dengan salah satu tangan terulur untuk menyentuh anak rambut coklat Eren.

Saat dirasa Eren tak akan bangun, Levi tak hanya menyentuh, melainkan juga memainkannya sedikit. Entah apa yang ia pikirkan saat ini.

"Bisakah kau tetap seperti ini untukku?" Levi berucap dengan suara yang amat perlahan. "Jangan bosan dan jangan mengabaikanku." Tawa pelan terdengar dari bibir tipisnya. "Bukankah aku terlalu egois? Aku mengabaikanmu, tapi malah memintamu untuk tidak melakukan hal yang sama."

***

Eren terbangun saat merasakan kepalanya menubruk sesuatu yang keras. "Ouch astaga!" Ia menyentuh keningnya yang terasa berdenyut sembari menyumpah-nyumpahi kaki meja yang baru saja ia tabrak. Rupanya Eren berguling dari karpet dan berakhir menubruk kaki meja belajar Levi.

"Hah? Apa sebelumya aku memakai selimut?" tanya Eren pada diri sendiri saat mendapati selimut biru navy berada di atas tubuhnya. Tak berselang lama sebelum senyum kembali merekah di bibirnya saat menyadari siapa kiranya pelaku selimut ini.

"Levi!" Sekarang Eren persis anak yang baru bangun tidur dan langsung mencari ibunya. Tak menerima jawaban, Eren lantas bangkit dan mencari di kamar dan ruangan lainnya. Sesekali ia mengacak rambut yang karetnya sudah hilang entah ke mana.

"Kau di sini rupanya." Eren menghampiri Levi yang tengah sibuk mengaduk sesuatu di dalam panci. Ah, kenapa Levi yang memasak tampak begitu lucu? Pinggang ramping itu terlihat hugable sekali. Jika saja pria itu adalah pacarnya, Eren mungkin sudah memeluknya dari belakang.

"Masak apa?" tanya Eren sembari berdiri di samping Levi. Meski tanpa bertanya pun Eren seharusnya sudah tau hanya dengan melihat.

"Kare."

Aroma manis menyeruak, bersama aroma gurih yang membuat siapa pun akan langsung meneguk ludah sendiri. Potongan daging, kentang dan wortel berenang dalam cairan kental coklat tua itu, membuat Eren tak sabar ingin mencicipinya.

"Tidak biasanya kau memasak. Kenapa tiba-tiba?" Eren memiringkan kepalanya ke samping.

"Memangnya kau pikir aku tidak pandai dalam hal ini?" Levi sama sekali tak mengalihkan pandangan dari panci prestonya.

"Tidak, bukan begitu! Maksudku ...." Eren menggaruk belakang kepalanya. "Saat aku di sini kan yang masak biasanya aku."

Api pada kompor dimatikan, Levi kemudian berdiri menghadap Eren, perbedaan tinggi mereka membuatnya harus sedikit mendongak. "Ya karena itu. Ini rumahku, bukankah seharusnya aku yang memasak untukmu?"

Eren mengulurkan tangannya untuk mengacak rambut Levi. "Kau manis sekali."

Levi mengerutkan kening. Memasak untuk tamu, mana yang manis dari itu? Ia hanya melakukan tugasnya sebagai tuan rumah, tidak lebih.

Levi mengunyah kare-nya dengan tenang saat tiba-tiba gebrakan meja dari Eren lantas mengejutkannya. "Kau ini kenapa?" Kening Levi mengerut saat menatap Eren yang kini tengah mematung dengan sendok di tangan kanannya.

Eren menutup mulutnya sendiri. "Enak sekali!" Iris emerald itu menunjukkan sinar kagum dan tidak menyangka. Rasa manis, gurih dan sedikit pedas memenuhi indra perasannya.

"Lebay."

Eren tertawa kecil. "Tapi serius lho ini!"

Pria itu lalu terdiam, tampak mencoba mengingat sesuatu. "Mn!" Eren meminum airnya dalam tegukan besar. "Kau tau? Aku ingat dengan jelas jika sebelumya tak pernah menggunakan selimut, tapi saat bangun tadi selimut itu sudah membalut tubuhku."

Pertanyaan yang amat tak berbobot! Jika Eren memang seyakin itu, bukankah jawabannya sudah jelas? Levi tau dengan jelas niat pria itu. Dia hanya ingin menggodanya.

"Terus?"

"Kau tau siapa yang selimutin aku?"

"Tidak tau. Selimutnya terbang sendiri mungkin."

To Be Continued

𝕄𝕚𝕤𝕥𝕒𝕜𝕖𝕤 • 𝔼𝕣𝕖𝕟 𝕩 𝕃𝕖𝕧𝕚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang