Bersama Nek Kiwi

4 1 13
                                    

Happy Reading🍒
.
.
.
.
.


"Ketika hati berkata tidak, tetapi bibir malah sebaliknya."

~Leci Valencia~

Menidurkan kepala di paha orang tersayang itu adalah hal yang menyenangkan. Apalagi, ia mengelus-elus rambutku dengan lembut, itu merupakan kehangatan yang tidak bisa aku dapatkan dari siapa pun.

Aku tersenyum kala menatap wanita yang sudah banyak kerutan di wajah. Usianya memang sudah senja, tetapi semangat untuk tetap hidup tidak pernah pudar. Wajahnya tidak pernah menampilkan gurat kesedihan, yang ada bibir tebalnya selalu menerbitkan senyuman. Kutahu itu ia lakukan agar semua terlihat baik-baik saja. Beliau tidak mau aku bersedih. Aku merasa sangat beruntung memilikinya.

"Nenek jadi ingat Ibu kamu waktu kecil, dia juga sama kayak kamu selalu dengerin cerita sebelum tidur," ujarnya.

Aku tersenyum. Hatiku tiba-tiba berdesir ketika mendengar kata 'Ibu'. Jujur, aku sangat merindukannya. Ingin sekali bertemu dengannya yang sampai saat ini aku belum mengetahui keberadaannya. Apakah ibu masih hidup? Ya, aku berharap dia masih hidup.

Aku menatap sekilas nenek, lalu pandanganku beralih ke langit-langit kamar yang kutempeli foto besar ibu."Kapan ya, Nek, kita ketemu Ibu? Apa Ibu juga rindu kita? Atau malah Ibu udah gak inget kalau Leci anak dia?"

"Hustt! Kamu gak boleh bicara begitu! Ibu kamu gak mungkin lupain anak secantik kamu! Ibu kamu pun pergi mencari rezeki untuk kamu. Mungkin memang ada sesuatu yang membuat dia belum bisa menemui kita. Kita berdoa saja, semoga secepatnya kita bisa bertemu Ibu kamu!"

Kutarik napas dalam-dalam sembari memejamkan mata, kemudian membuangnya dengan cepat. Selalu itu jawaban yang nenek berikan ketika aku bertanya perihal ibu. Nenek selalu berpikir positif tentang ibu agar aku tidak membencinya. Nenek memang bilang ibu pergi untuk mencari rezeki, tetapi yang kuketahui ibu tidak pernah mengirimkan uang sepeser pun kepada kami. Kami bisa hidup karena dari hasil berjualan sayuran.

Ya, aku dan nenek memang berjualan sayuran di depan rumah setiap pagi. Aku selalu membantunya berjualan ketika libur sekolah, terkadang juga menyempatkan membantu sebelum berangkat sekolah.

Tidak ada sosok ibu atau pun ayah sebab keduanya sama-sama pergi entah ke mana. Keluarga yang kupunya hanyalah Nek Kiwi atau yang memiliki nama lengkap Kinanti Widyawati. Nenek sudah berusia 63 tahun. Aku tidak mau kehilangannya.

"Sudah ya, jangan berpikir macam-macam! Sekarang sudah jam setengah sembilan. Kamu mau Nenek bacain cerita apa?"

Kutatap jam dinding berbentuk buah jeruk, apa yang dikatakan nenek memanglah benar. Jarum pendeknya menunjuk ke angka sembilan dan jarum panjang ke angka enam. Nenek juga sepertinya tahu, jika bibirku terdiam seperti ini isi kepalaku tidak diam.

"Cerita Bawang Merah Bawang Putih."

Nenek lalu beranjak dari tempat tidur, kemudian berjalan menuju meja belajar. Dia mengambil buku bersampul gambar seorang gadis yang sedang dimarahi dua wanita dari beberapa tumpukkan buku. Aku memang memiliki beberapa buku cerita, ingin rasanya menambah yang lain dan mempunyai lemari khusus untuk buku. Akan tetapi, aku sadar, mempunyai meja belajar saja harusnya aku bersyukur. Sudah bisa makan pun, harus disyukuri. Aku tidak boleh meminta yang aneh-aneh.

Nenek kemudian kembali, lalu kusandarkan kembali kepalaku pada pahanya. Setelah itu, nenek mulai membaca cerita sembari mengelus-elus kepalaku. Beginilah aktivitasku sebelum tidur bersama nenek, selalu bercerita atau mendengarkan cerita.

Leci Miss Ceri[Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang