ix. Teluk bejat

124 6 0
                                    

Wati bersedih, sering dia menangis melihat kedekatan Tanjung dan Mayang ketika mencari selendang yang makin lama hubungannya malah makin erat. Dia kira, dengan warga datang ke rumahnya, Tanjung dan Mayang akan makin menjauh, tetapi kenapa menjadi sebaliknya?

"Tanjung, kamu masih ingat kan, tentang perkataanku kemarin? Jodoh kamu itu memang bukan wanita yang sembarangan. Terbukti kan, ketika kamu mencari cinta, kini mendapatkan bidadari," ucap Jaki memulai pembicaraan.

Kini, mereka kembali untuk mencari kayu bakar di hutan.

Tanjung tersenyum. "Dia cantik seperti bunga, Jak. Tak ada gadis desa yang secantik dia. Tapi ..."

"Kenapa kamu, Jung? Apa yang membuatmu ragu?"

"Aku tidak tau apakah Mayang mencintaiku," kata Tanjung. "Dia dekat tapi rasanya begitu jauh. Seperti ada jarak, ada tembok yang membatasi hubungan kami sehingga aku gak bisa mendekati dia dan dia juga tidak bisa mendekati aku."

Jaki hanya tertawa geli.

"Tanjung, Tanjung, jangan sentimentil gitu dong Jung, baru juga kenal. Tapi kamu harus mendekati dia biar kamu tau gimana isi hatinya lewat pancaran mata yang bening itu."

"Iya, Ki. Aku juga berharap Mayang mencintaiku."

Tanjung dan Jaki pun terus berjalan menuju tengah hutan.

[.]

Hari sudah malam. Tanjung melihat Mayang berdiri di teras sendirian. Mayang melamun memikirkan selendangnya. Dia rindu kayangan.

Dari belakang, Mayang terkejut ada yang menepuk pundaknya.

"Kenapa kamu melamun, Mayang?"

Mayang terisak. Rupanya dia sedang menangis. "Saya ingin pulang ke kayangan. Saya ingin bertemu dengan ayah dan ibu saya. Sebenarnya dimana selendang saya itu berada?"

Tanjung merasa sedih. Dia bertanya kepada dirinya sendiri, apakah ia berikan saja selendangnya? Tanjung memang mencintainya, tetapi ia sadar, dengan menahannya terus di sini, bukan perbuatan lelaki yang baik. Itu curang namanya. Tanjung merasa ia seperti seorang pencuri, yang hanya mempunyai keinginan sendiri tanpa memikirkan orang lain. Egois, ia hanya bisa membuat orang yang dicintainya menangis.

Entahlah, tetapi sampai sekarang, Tanjung masih belum bisa memberikan selendang yang disembunyikan itu ke Mayang. Dia akan mengembalikannya, tetapi bukan sekarang. Sekarang, dia hanya ingin Mayang bersamanya.

[.]

Paginya, sebelum ibu dan Tanjung bangun, Mayang diam-diam kembali ke hutan sendirian, mencari selendangnya lagi. Siapa tahu selendang itu terbawa angin ketika dia mandi, atau terbawa arus air terjun yang memang sangat deras. Dia tidak mau merepotkan ibu dan Tanjung lagi yang hanya membuatnya merasa bersalah terus.

Wati dan Teluk yang saat itu sedang lari pagi. Teluk melihat Mayang pergi ke arah hutan sendirian.

"Kamu ngelihatin apa, sih? Sampai segitunya. Kayak ngelihatin macan aja," kata Wati kepada adiknya.

"Bukan macan Mbak," balas Teluk. "melainkan gadis cantik nan ayu. Siapa ya dia? Kok kayak kebingungan gitu? Mau cari apa sih?"

"Kamu tuh gimana sih ambil dong kesempatan emas ini?" kata Wati. "Ayo manfaatin dia! Si Gadis gila itu, mau diapain juga boleh. Udah ga ada lagi yang peduli sama dia. Entar kan, Tanjung bakalan usir dia begitu tau cewek itu gak perawan lagi."

"Benar Mbak, sip!" Teluk pun segera mendekati Mayang.

Wati tersenyum jahat. "Mayang, Mayang. Sebentar lagi, bakalan habis pesona kecantikanmu," gumamnya.

Begitu Teluk mendekat, Mayang terkejut.

"Hai, hello cantik!" sapa Teluk.

"Mau apa kamu?" Mayang berusaha mundur menjauh.

"Mau apa? Ya mau bawa pergi lah!"

"Pergi ke mana?" Mayang menghempaskan tangan Teluk yang seperti akan menyentuhnya.

Teluk masih berusaha untuk memegang tangan Mayang. "Tenang, kamu akan aku bawa pergi ke surga. Oke?"

"Lepasin." Mayang tetap berusaha melepaskan tangan Teluk. Dari auranya, Mayang tahu Teluk bukan lelaki baik-baik.

"Lepasin!" teriaknya lagi.

"Lepasin apa nya, sih? Tenang dong. Bajunya yang mau aku lepasin?"

"Ih, lepasin!"

"Udah ayo, ayo cepet," kata Teluk sambil membawa paksa Mayang menuju tengah hutan.

"Lepasin, saya mohon tolong lepasin tangan saya!" Mayang berusaha sekuat tenaga agar bisa lepas dari genggaman Teluk. Tetapi Teluk memiliki tenaga yang besar. Mayang tidak semudah itu bisa lari darinya.

"Hei Teluk! Jangan ganggu dia! Aku habisin kamu!"

Dari kejauhan, akhirnya Tanjung datang. Teluk yang kepergok akan membawa Mayang ke hutan, kini kabur. Sebelum warga yang lain melihatnya.

Tanjung segera mendekati Mayang yang kini terlihat trauma.

"Tanjung, kenapa dia begitu jahat kepada saya?" tanya Mayang pilu. "Saya nggak pernah jahat sama dia. Dia kenapa jahat ke saya? Apa di bumi ini banyak orang jahat?"

Tanjung mengelus bahu Mayang, berusaha menenangkannya.

"Kenapa saya selalu disusahin? Selendang saya dicuri. Saya juga nggak diterima sama masyarakat di sini. Mereka bisa menerima saya karena mereka yakin saya ini orang gila! Dan sekarang, sekarang ada yang mau memperkosa saya! Apa salah saya Jung?" Apa salah saya tolong Tanjung, jawab!" Mayang kini menangis.

"Kamu ngga salah apa-apa," balas Tanjung lembut. "Di bumi memang banyak orang jahat. Tetapi masih banyak juga orang baik. Sekarang kita pulang, yuk. ibu nunggu."

"Saya mau cari selendang saya lagi," kata Mayang. "Saya mau pergi dari bumi."

"Kamu pulang saja, nanti saya cariin," ujar Tanjung. "Saya takut kamu malah dijahatin lagi sama orang lain."

Mayang murung. Lagi-lagi, dirinya masih menyusahkan Tanjung. "Maaf ya, Jung, aku selalu ngerepotin kamu."[]











Selendang Mayang ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang