xix. ibu

36 2 0
                                    

"Alhamdulillah, terima kasih, Ya Allah." Ibu bersyukur begitu Tanjung menyampaikan bahwa mereka tidak lagi diasingkan oleh warga. "Akhirnya hukuman ini berakhir juga. Ibu sedih sudah hampir sebulan semua warga seperti tidak menganggap ibu ada."

Tanjung senang. Ia kemudian menoleh kepada Mayang. "Mayang, tolong maafkan aku. Aku benar-benar tidak melakukan apapun kepada Wati. Itu pasti Wati yang mau fitnah aku supaya aku dan kamu bertengkar."

"Benar, Mayang," tambah ibu. "Tanjung tidak mungkin melakukan hal itu. Ibu berani jamin."

Tanjung menggenggam kedua tangan Mayang. "Kepercayaanmu segalanya bagiku, aku gak pernah mengkhianatimu. Aku mohon tolong maafkan aku, Mayang. Baik buruk kekurangan dan kelebihanku juga kan kamu sudah melihatnya. Aku yakin, kamu sudah mengenalku dengan baik. Nggak ada yang aku sembunyikan dari kamu. Aku bisa mati kalau sampai kamu tidak memaafkan aku, Mayang."

Mayang masih merenung. Sebenarnya, ia masih marah pada Tanjung, tetapi dia juga merasa bersalah karena selama inj Tanjung selalu berbuat baik padanya.

Tanjung meraih tangan Mayang. "Tolong kamu percaya sama aku. Aku ngga main-main. Aku sungguh-sungguh meminta agar kamu memaafkan aku."

Tanjung mengecup tangan Mayang. Mayang melihat dan merasakan ketulusan Tanjung.

Dia mencoba menerima. Mayang bilang, "Saya udah maafin kamu, kok." sambil tersenyum.

[.]

Warga se-RT berkumpul di rumah Tanjung. Kali ini, mereka datang bukan untuk mengusir seperti dulu. Tetapi untuk membantu untuk acara pernikahan Mayang dan Tanjung yang sebentar lagi akan diselenggarakan. Akhirnya, warga sudah tidak mendiami keluarga Tanjung.

"Bapak-bapak, ibu-ibu, mari kita pikirkan di mana cocoknya ijab kabul yang akan diselenggarakan untuk Tanjung dan Mayang," ujar Pak RT.

Di samping Pak RT yang sibuk memikirkan tempat yang cocok untuk ijab kabulnya, Wati, Ibu, Tanjung dan Mayang berkumpul di ruang tengah.

"Kalian memang pasangan yang cocok," kata Wati. "Maaf ya, kalau aku ada salah."

Tanjung dan Mayang masih marah ke Wati. Dia memang tidak menanyakan mengenai anting Wati di kamarnya, toh sebentar lagi dia kan mau menikah dan sudah baikan dengan Mayang. Tidak ada gunanya rasanya.

Wati meminta izin ke belakang WC. Dia mengambil minyak sayur di dapur dan mengguyurkan minyak sayur itu ke lantai. Dia ingin Mayang celaka terpeleset menginjak minyak itu.

Tetapi, rencana Wati untuk mencelakakan Mayang gagal. Karena malah ibu yang terpeleset di sana. Padahal, ibu baru saja sembuh.

[.]

"Bagaimana keadaan ibu saya, Dok?" tanya Tanjung. Kini, ia berada di rumah sakit.

Ibu tidak sadarkan diri sedari kejadian terjatuh siang itu.

"Maaf, dengan berat hati ibu Anda tidak bisa kami selamatkan. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin."

Tanjung menyandarkan tubuhnya ke tembok. Dia lemas mendengar hal itu. Ia sedih, belum juga ibu melihat Tanjung menikah dengan Mayang, tetapi ibu sudah tiada. Padahal ibu pernah bilang beliau sangat ingin menimang cucu.

"Bu, maafkan saya, Bu." Tanjung memeluk jenazah ibunya.

Mayang turut bersedih. "Tanjung, jangan menangis. Kalau kamu menangis, ibu akan sedih di sana. Kamu masih punya saya. Saha nggak akan pernah ninggalin kamu."

Tanjung masih menangis, dia sangat terpukul. Dia pun memaluk Mayang.

"Terima kasih, Mayang."

[.]

"Pokoknya aku belum mau nikah sekarang. Lagian Bapa ini ngapain sih ngomongin nikah kok tiba tiba. Kayak gada masalah lain aja."

Pak RW sedang bersama Wati di teras rumahnya. Beliau sudah tidak tahan karena warga selalu membicarakan anak perempuannya itu yang sampai sekarang belum juga menikah.

"Boleh bapak tau kenapa kamu ngga mau menikah sekarang? Kamu itu sudah dewasa. Bahkan umurmu sudah telat untuk menikah. Bapak ini RW. Dicontoh sama banyak orang. Bapak malu kamu jadi bahan pembicaraan karena jadi perawan tua."

"Pak, soalnya Wati belum siap aja untuk menikah," balas Wati.

"Kamu sudah berumur Wati," kata Pak RW. "Kamu sudah saatnya menikah. Jangan menunggu yang tidak mau. Jadi sekarang bersiaplah. Jodohmu biar bapak yang memikirkan."

Pak RW lalu pergi. Beliau memang selalu kekeh atas pendiriannya. Apa yang dia mau harus diturutkan, tidak boleh tidak.

Wati misuh-misuh kesal. Dia bergumam, "Aduh bagaimana sih? Lagian bapak ini gimana sih pake mU nikahin sama orang yang ngga aku kenal. Coba aja kalau si Tanjung mau sama aku."

Wati kemudian pergi ke kamar dan menangis di sana.[]











Selendang Mayang ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang