viii. kedatangan warga

61 6 1
                                    

Di ruang keluarga, Tanjung tersenyum kagum memandang wajah Mayang yang cantik jelita. Apalagi kini Mayang sudah mandi, dan memakai baju bagus milik ibu waktu masih muda, cantiknya makin menjadi.

Ibu datang menghampiri. "kamu habis mandi tambah kelihatan cantik," kata Ibu.

Mayang hanya bisa tersenyum.

Ibu kemudian menoleh ke arah Tanjung. "Tanjung, kamu udah bilang sama Pak RW kan kalau ada tamu yang menginap?"

Tanjung menepuk jidat. "Ya ampun, Bu. Saya lupa!"

"Aduh, Tanjung! Kan ibu udah bilang, kamu harus segera lapor ke Pak RW!"

"Iya, Bu maaf. Lagian, kan belum 24 jam, Bu?"

"Sudah, sekarang cepetan kamu lapor! Gak usah nunggu-nunggu lagi, sebelum ada orang yang berpikiran macam-macam."

"Iya Bu, sebentar lagi, Bu." Tanjung malah mengeyel. Bukannya apa-apa, sepertinya dia takut bila nanti Pak RW akan membawa dan mencari keluarga Mayang. Dia tidak mau Mayang pergi darinya. Tanjung hanya ingin Mayang terus berada di rumahnya.

"Tanjung...." Ibu sudah mulai sebal. Anaknya itu memang sulit untuk dinasihati.

"iya, Bu, ini baru aja saya mau berangkat."

Baru saja Tanjung berdiri, terdengar suara bising warga dari luar ribut-ribut. Ada apa warga datang ramai-ramai ke rumahnya?

Tanjung, Ibu dan Mayang pun segera keluar untuk memastikan apa yang sebenarnya telah terjadi.

"He Tanjung, kamu tidak tau aturan, ya? Perempuan cantik kok diinapkan seperti ini!" ucap salah satu bapak-bapak sambil berkecak pinggang. Itu Pak RT. "Iya gak ibu-ibu bapak-bapak?!"

"Iya betul itu!" sahut warga.

"Sabar, bapak-bapak, ibu-ibu!" Tanjung berusaha melerai. "Dia perempuan baik-baik, namanya Mayang."

"Kamu kan sudah tau aturan di desa ini. Kalau ada yang menginapkan perempuan, harus dinikahin sekarang juga! Atau kami akan mengusir kalian sekarang juga!"

"Iya, tapi tunggu dulu Pak, tenang dulu!" kata Tanjung. "Iya, oke. Saya akan menikahinya. Tapi menikah kan bukan perkara yang gampang, Pak!"

"Iya, kita tahu. Tapi kamu lagian ngapain bawa perempuan ini menginap di sini?" balas salah satu ibu-ibu.

"He Tanjung, kamu jangan rendahkan derajat perempuan!" kata Pak RT. "Iya gak warga?"

"IYA TUH BETUL!" ucap warga bersorak.

"Maaf Pak," kata Mayang setelah semuanya mulai mereda. "Saya tidak bisa menikah dengan Tanjung, karena dia manusia."

"Maksudnya apa?" tanya ibu-ibu. "Memangnya kamu mau menikah sama jin?"

"Bukan begitu, Bu. Bidadari tidak bisa menikah dengan manusia."

"Bidadari? Gadis gila ini namanya!"

"Dia tidak gila, Bu!" Tanjung tidak terima Mayang dikatakan gadis gila. "Dia ini Mayang. Dia tidak bohong, Mayang memang seorang bidadari!"

Pak RT terkekeh tidak habis pikir. "Wah, kalau begitu Tanjung juga ikutan gila, dong! Warga, sebaiknya kita apakan mereka ini, ya?" tanyanya kemudian pada warga.

"Usir aja dari kampung ini!"

"Benar! Usir saja mereka!"

Tanjung kembali menenangkan. "Oke, mungkin Mayang memang gila. Makanya, saya dan ibu membawanya ke rumah untuk merawatnya sampai dia sembuh!"

Tanjung terus memikirkan berbagai cara agar mereka tidak jadi diusir warga.

"Merawat apa merawat...? Jangan-jangan, malam-malam juga ikutan merayap," kata Pak RT.

Ibu tidak menerima anaknya dikatakan seperti itu oleh seorang RT. "Maaf ya, Pak," kata Ibu. "Jangan sekali-kali merendahkan dan menghina anak saya! Anak saya anak baik-baik. Dia tidak akan dan tidak mungkin melakukan apapun terhadap perempuan ini, saya berani sumpah! Karena Tanjung dilahirkan dari seorang perempuan yang selalu menghargainya kepada orang lain. Bapak jangan mentang-mentang bawa banyak orang ya, jadi seenaknya menghina kami!"

Pak RT merasa bersalah sebelumnya mengatakan hal yang tidak pantas. Ya, dia tau ibunya Tanjung memang waktu muda adalah guru ngaji di desa. Seharusnya Pak RT tidak mengatakan seperti itu.

"Baiklah, Bu. Saya minta maaf. Bukan kami bermaksud mengganggu ibu," kata Pak RT. "Kalau memang Mayang terganggu jiwanya, biarlah dia tinggal di rumah ibu. Biarlah dia di desa ini sampai sembuh. Asal kalau ada apa-apa terhadap gadis ini, kita semua tidak mau menanggung bebannya dan kita akan usir kalian bertiga!  Bagaimana warga, apakah kalian setuju?"

"SETUJU! SETUJU PAK RT!" sorak mereka bersahutan.

"Kalau begitu, mari kita bubar semua!" suruh Pak RT.

Setelah semua warga akhirnya pergi dan tidak mengusir mereka, ibu dan Tanjung lega. Sedangkan Mayang di belakang mereka merasa terkekang, merasa bersalah.

"Apa saya harus pergi saja dari desa ini?" tanyanya pelan.

"Tidak, Mayang. Kamu tinggal di sini saja," balas ibu. "Kalau kamu pergi, banyak yang bakalan jahatin kamu."

"Tidak mengganggu? Mereka seperti sangat tidak menyukai saya di desa ini."

"Tidak perlu risau, Mayang. Kami akan menjagamu selalu," kata Tanjung penuh arti. Ya, dia yang sudah membawa Mayang ke rumah. Sekarang, Mayang adalah tanggung jawabnya. Apa pun yang terjadi pada Mayang, Tanjung berjanji akan mempertanggung jawabkannya.[]









Selendang Mayang ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang