v. bidadari itu bernama Mayang

91 7 1
                                    

Hari sudah petang. Tanjung masih memerhatikan bidadari itu mencari selendangnya sendirian. Tak tega melihatnya seperti tidak ada yang menemani, Tanjung kemudian mendekat ke arah bidadari itu. Bahkan, sekarang ini bidadari tersebut duduk di sebuah dahan pohon dan menangis sendirian, ia seperti sudah menyerah dengan keadaan dan kenyataan bahwa dirinya tidak bisa kembali ke kayangan.

Melihat ada yang mendekat, bidadari itu beranjak dari duduknya. Bersikap was-was.

"Kamu siapa?" tanyanya ketakutan. "Kamu mau apa?"

"Mestinya saya bertanya, kamu ini siapa? Kenapa malam-malam begini kamu ada di tengah hutan sendirian? Ke mana teman-teman kamu?" kata Tanjung.

"Saya Mayang. Sebenarnya ... saya ini seorang bidadari. Tapi selendang saya hilang. Saya tidak bisa kembali ke kayangan tanpa selendang saya. Saya tidak bisa pulang."

"Malang benar nasibmu," kata Tanjung berempati. Padahal, dialah yang membuat bidadari itu tidak bisa kembali.

Tanjung melepas pakaiannya, karena melihat bidadari itu seperti kedinginan. Bukan dia tidak memikirkan dirinya sendiri, tapi sekarang dia masih mengenakan kaus. "Kamu pakai pakaianku, supaya kamu tidak kedinginan."

Mayang seperti tidak mau menerimanya. Karena dia takut. Dia baru mengenal manusia tersebut. Dia tidak tahu apakah lelaki itu adalah orang jahat atau bukan. Dia hanya ingin menjaga diri.

"Jangan takut," kata Tanjung lembut. "Saya pemuda baik-baik. Nama saya Tanjung."

Tanjung menyodorkan pakaian hitamnya itu. "Ayo."

Karena tidak tahu lagi harus melakukan apa, bidadari itu pun terpaksa menerima pakaian tersebut. Lagipula dia memang kedinginan di sana. Walaupun dia sedikit was-was, tetapi kehadiran Tanjung adalah harapan satu-satunya untuknya yang tertahan di bumi ini. Dia tidak punya siapa-siapa di bumi.

"Saya tidak bisa kembali ke kayangan tanpa selendang itu," kata Mayang usai mengenakan pakaian itu.

"Terus kamu mau ke mana?"

Mayang pun tidak tahu lagi mau kemana. Dia menggeleng saja bisanya. Benar-benar bingung.

"Kalau mau, kamu tinggal saja di rumahku," ujar Tanjung. "Itu kalau kamu mau. Lagian ini kan sudah malam. Lebih baik, sekarang kamu istirahat dulu. Besok kita cari cara supaya kamu bisa kembali ke kayangan."

Mayang tersenyum lega. Dia rasa, dari perkataan yang dilontarkan Tanjung, lelaki itu memang orang baik. Maka, Mayang pun menurut untuk ikut ke rumah Tanjung.  Semoga lelaki ini memang benar orang yang baik, pikirnya.

Ternyata, dari belakang, Wati diam-diam datang dan mengintip di balik semak-semak. Dia sebal sekali melihat Tanjung ternyata di hutan bersama perempuan lain. Bahkan perempuan tersebut memakai baju yang biasa Tanjung pakai. Dia makin sebal ketika tahu rambut perempuan itu basah dan berpikir yang tidak-tidak: habis melakukan apa mereka berdua di sana? Kata Jaki tadi kan, Tanjung di hutan cuma sedang menangkap burung!

Kenapa malah berduaan bersama perempuan?!

[.]

Ibu Tanjung khawatir karena anaknya belum kunjung pulang, padahal, biasanya sebelum Maghrib Tanjung sudah ada di rumah. Sedari tadi, beliau berjalan mondar-mandir menunggu kedatangan anak semata wayangnya itu.

Ibu terkejut begitu Tanjung akhirnya pulang, tetapi dengan membawa seorang perempuan cantik di sebelahnya. Beliau melohok.

"Bu, perkenalkan, ini Mayang," kata Tanjung menyadarkan ibunya yang masih keheranan.

"Mayang? Mayang siapa?" bisiknya. Setahunya, di desa itu tidak ada gadis yang bernama Mayang. Dan ibu juga baru melihat perempuan tersebut.

"Calon menantu ibu."

Mata ibunya membulat. Bukan berarti pagi tadi ia menyuruh anaknya mencari istri, lalu malamnya langsung di bawakan juga ke rumah. Ini terlalu cepat. Makanya ibu sangat shock. "Tanjung, jangan bercanda ah!"

Tanjung hanya cengengesan saja. Baru lihat dia ibunya seterkejut itu.

"Maaf, Mayang, perkenalkan ini ibu saya," kata Tanjung kepada Mayang.

"H-Hai, Mayang, saya ibunya Tanjung." Ibu gugup. Tentu saja beliau gugup. Malam-malam diperkenalkan anaknya perempuan cantik secara tiba-tiba. Seperti mimpi rasanya.

Mayang hanya tersenyum. Bingung juga mau mengatakan apa. Ibu adalah manusia kedua yang dia kenal setelah Tanjung.

"Mari silakan masuk," lanjut ibu.

Mayang kemudian dipersilakan duduk di sofa ruang keluarga.

Sementara itu, ibu menarik lengan Tanjung sampai ke dapur.

"Ada apa sih, Bu?" tanya Tanjung ketika mereka sudah di dapur.

Bisa-bisanya Tanjung bertanya ada apa sih, Bu?

Tentu saja banyak yang perlu dipertanyakan oleh ibu kepadanya.

Haduh... Tanjung, Tanjung.

Dasar![]






Selendang Mayang ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang