xiv. Wati galau

27 3 1
                                    

Kian hari, kedekatan Tanjung dan Mayang makin erat. Mereka berdua ke mana-mana selalu bersama. Mayang selalu membantu Tanjung mencari kayu bakar, membantu berkebun, menanam padi. Tanjung juga selalu membantu Mayang memasak, mencuci sampai berbelanja ke pasar.

Saat ini, mereka berdua tengah memancing ikan di sungai yang alat pancingannya dibuat sendiri oleh Tanjung menggunakan bambu.

"Tanjung?" panggil Mayang.

Tanjung menoleh. "Iya, Yang?"

"Kayaknya saya sudah betah deh tinggal di desa. Dipikir-pikir desa ini enak banget, walaupun lebih enak di kayangan. Desa ini masih alami. Kalau mau makan buah tinggal petik, kalau mau makan ikan tinggal mancing."

"Desa ini memang indah, Mayang," kata Tanjung. "Tetapi kamu harus ingat bahwa tidak ada yang seindah dirimu. Kamu lebih cantik dari apa yang ada di desa ini. Rambutmu, kulitmu, matamu, hidungmu semuanya. Semua yang ada di dirimu, sempurna."

Pipi Mayang memerah. Ia salah tingkah. "Kamu ngomongnya ketinggian."

"Aku rasa ngga. Kamu memang cantik sekali Mayang."

"Apaan sih Tanjung, ih. Genit!"

Mayang tertawa geli. Tanjung ikut-ikutan tertawa juga.

"Mayang," panggil Tanjung. "Aku mencintaimu," katanya ketika tawa Mayang mereda.

Mayang makin salah tingkah.

"Apa? Saya ngga denger."

"Aku mencintaimu Mayang," ulang Tanjung.

"Yang keras dong Tanjung, saya nggak ngedenger."

"AKU MENCINTAI KAMU! AKU MENCINTAIMU MAYANG!" teriak Tanjung.

Mereka berdua pun tertawa bahagia dan saling berpelukan.

[.]

Sedangkan Wati galau. Setiap hari dia selalu melihat Tanjung dan Mayang berduaan terus. Padahal, Wati juga mau berduaan bersama Tanjung. Wati cemburu. Wati sangat cemburu.

"Hai Wati!"

Sri, kawan Wati yang rambutnya selalu dikepang dua, datang.

"Ngapain kamu ke sini?" tanya Wati judes.

"Lho emang kenapa sih? Kan biasanya juga kita main bareng? Biasanya juga aku sering ke sini."

Wati memutar kedua bola mata. Sri tidak tahu saja Wati masih galau memikirkan Tanjung.

"Eh, Wat, kamu tahu gak? Tanjung dan Mayang katanya mau menikah!" kata Sri lagi.

"Semua orang di desa ini juga udah pada tau," kata Wati datar.

"Lalu?"

"Lalu apa maksudnya?"

"Lalu apa rencana kamu?"

Sri tahu Wati menyukai Tanjung. Makanya dia bertanya seperti itu kepada Wati.

"Ya apa lagi sih yang bisa aku lakuin? Mereka kan juga udah mau nikah. Tanggal sama harinya aja katanya udah ditentuin. Lagian juga aku tahu kok, si Tanjung sama gadis gila itu kan--"

"Hah, Mayang gila?" potong Sri.

"Iya tahu, dia ga beneran gila, aku aja yang nganggap dia gila," kata Wati. "Maksudku, mereka berdua juga saling mencintai, kan? Rasanya susah deh, ngebuat Tanjung gak jatuh cinta sama gadis itu. Ya aku tau sih si Mayang juga emang cantik banget kayak bidadari."

"Jadi, gitu aja kamu udah nyerah?" tanya Sri. Sri merasa Wati kini berbeda. Yang Sri tahu, Wati bukan seseorang yang gampang menyerah.

"Apa itu maksudnya nyerah?" kata Wati. "Ya udah lah. Berat sih, aku udah rela kali kehilangan si Tanjung. Tapi mau bagaimana lagi?"

Sri menghela napas. Dia mengusap pundak Wati agar bersabar. "Aku turut berduka cita atas tragedi yang menimpa cintamu Ti."

Wati menepis tangan Sri. "Udah lah tinggalin aja aku sendiri di sini," katanya. Dia benar-benar sudah tidak mood untuk diajak bicara.

"Apa?"

"Aku. Bilang tinggalin aku sendirian!"

"Apa?" Sri tidak percaya Wati mengusirnya.

"AKU BILANG TINGGALIN AKU SENDIRIAN! KAMU JANGAN KEBANYAKAN TANYA DEH!"

Sri pun segera minggat dengan sebal. Dia pergi sembari misuh-misuh.

Namun setelah Sri minggat, Wati bergumam. Dia mengingat perkataan Sri tentang sebuah rencana agar Mayang tidak jadi dinikahi oleh Tanjung.

Wati bergumam, "Nggak, aku nggak bisa ngebiarin pernikahan Tanjung sama Mayang! Aku nggak mau kehilangan Tanjung. Tidak mungkin aku bisa tahan jika Tanjung menikah dengan perempuan lain. Huh. Ini gak bisa. Ini harus digagalkan. Aku takut banget kehilangan Tanjung. Rasanya, hatiku seperti kacau. Pokoknya aku harus dapatin cinta Tanjung. Apapun akan aku lakuin buat itu."

"Mbak, aku pinjem duit dong." Teluk tiba tiba datang. "Mau beli rokok."

Wati mengeluarkan uang dari sakunya. Ia menyodorkan uang itu kepada Teluk. Tetapi ketika adiknya itu akan mengambilnya, yang itu ditahan oleh Wati.

"Mbak bakalan ngasih uang rokok buat kamu. Tapi ada syaratnya," kata Wati.

"Syarat apa sih, Mbak?" Teluk bingung.

Wati tersenyum kecut. "Ada misi yang harus kamu lakukan."[]













Selendang Mayang ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang