i. bujang lapuk

290 13 6
                                    

Gais

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gais ... Thanks udah mau mampir ke cerita Selendang Mayang. Ini cerita pertama saya, jadi amat sangat banyak kekurangan. Kalau mau, baca cerita sebelah saya aja yang judulnya Transmigrasi: Cewek Cupu & Cowok Dingin atau Seperti Selalu.

Terima kasih ... Selamat membaca ...

[]

Sore itu, Tanjung bersama enam kawannya tengah mengikuti perlombaan sepak bola, acara yang digelar setiap tahun baru di Desa Kenanga. Setelah berhasil melewati berbagai pertandingan, mereka masuk final, melawan tim Teluk, lelaki dari RT sebelah, anak Pak RW.

Di final kali ini, Teluk begitu kesal. Dari tadi Tanjung selalu berhasil mengambil bola darinya. Memang, Tanjung jago dalam hal olahraga. Apalagi sepak bola, dari kecil dia selalu berlatih bersama almarhum ayahnya tanpa henti. Terbukti sekarang, berkali-kali dirinya menggolkan bola ke gawang lawan tanpa terlihat kesulitan.

Padahal, berkali-kali pula Tanjung terjatuh oleh karena Tim Teluk yang bermain kasar. Namun, itu tidak membuat Teluk dan timnya unggul dalam permainan. Skor mereka tertinggal jauh, sulit untuk dikejar bila melihat waktu yang tinggal sedikit lagi.

Sampai pada akhirnya, Tanjung bersama teman-temannya pun memenangkan pertandingan tersebut. Mereka  mendapat juara 1, bersorak senang dan bangga. Di samping itu, Teluk dan teman-temannya sangat sebal tidak mau menerima.

"Selamat ya, Luk, kamu kalah lagi," kata Tanjung meledek.

Teluk mendekat, menatap tajam penuh kekesalan. "He! Denger ya, kali ini lo boleh menang. Lain kali, giliran lo yang kalah sama gue!"

"Oke! Siapa takut!"

"Oke, kita lihat saja nanti."

Mereka lalu adu pandang, saling menatap menantang. Mereka berdua memang lawan sejati. Saling beradu dalam segala hal. Tidak ingin kalah satu sama lain.

Lalu Teluk dan timnya segera pergi dari tempat itu. Sedangkan Tanjung beserta kawannya bersenang-senang dengan hadiah yang mereka dapat dari pertandingan tersebut, yah, walaupun hadiahnya tak seberapa. Tetapi mereka tetap bangga bisa menang melawan Tim Teluk.

Rencananya, malam nanti mereka akan merayakan kemenangannya sambil bakar-bakar! Ahey!

[.]

Esok paginya, Tanjung merasa tidak enak badan. Di bangku teras, dia tidur telungkup sambil punggungnya dikerok oleh sang ibu. Tanjung masuk angin karena semalam dia begadang bersama teman-temannya, padahal sorenya sudah lelah bertanding bola. Dia kurang istirahat. Belum lagi tadi subuh hujan lebat. Pagi ini menjadi sangat dingin.

"Makanya, kamu cepat-cepat cari istri. Kalau kamu masuk angin gini kan, ada yang nyembuhin kamu, Tanjung." Ibunya memulai percakapan, sambil terus mengerok punggung Tanjung yang memerah.

"Jadi ibu keberatan ngerokin saya?" tanya Tanjung.

"Bukan begitu, Tanjung," kata ibu. "Kamu kan sudah dewasa. Sudah sepantasnya kamu menikah. Lihat tuh teman kamu Amin, dia juga sudah menikah. Bahkan istrinya Rusdi lagi hamil anak ketiga. Kamu ngga mau kan, jadi bujang lapuk?"

Tanjung menghela napas sebelum beranjak duduk.

"Kan ada ibu." Kemudian dia meneguk teh hangat yang sudah disediakan ibu. "Nah, teh hangat ini juga kan dibuatin sama ibu. Jadi masih ada ibu yang mau memperhatikanku."

Tanjung memakai bajunya kembali. Seperti ingin buru-buru pergi, karena tidak tahan dengan percakapan tentang menikah yang selalu dibicarakan ibunya. "Tanjung pergi dulu ya, Bu," katanya sambil menyalami tangan ibu. "Assalamualaikum."

"Waalaikumsal-- Tanjung!" Ibu membuat anaknya itu yang baru beberapa langkah berjalan akan pergi menjadi terhenti. Ia mendekat. "Ibu tidak bercanda, Nak. Umur kamu sudah dua puluh lima tahun. Ibu juga sudah tua."

"Bu, gadis-gadis di desa ini seleranya tinggi. Mereka mencari laki-laki dari kota yang kaya. Yang punya motor. Yang punya mobil. Yang pakai dasi. Yang punya banyak uang. Sementara saya ini gak punya apa-apa, Bu. Ibaratnya, tidur beralaskan tanah, beratapkan langit," kata Tanjung. "Jadi ngga ada gadis yang mau sama saya, Bu."

Tanjung mendekat ke arah ibunya. Kembali berkata, kali ini sembari menenangkan, "Lagi pula saya memiliki pandangan berbeda mengenai gadis di desa ini, Bu. Ibu yang sabar aja, ya. Doakan saja supaya saya dapat diberikan jodoh."

Ibu lalu merasa iba. Rela dengan keputusan anaknya dan juga pasrah atas kehendak tuhan dan hanya bisa berdoa agar anaknya segera mendapatkan jodoh sebelum ajal terlanjur menjemputnya.

"Ya sudah, pergilah, Nak." Dengan nada sedih. "Semoga apa yang kamu cita-citakan tercapai, Nak."[]







Selendang Mayang ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang