BONUS CHAPTER : GADIS DARI MASA LAMPAU

88 7 0
                                    

Beberapa hari. Mungkin beberapa minggu. Entahlah, tidak ada yang menghitunginya. Akan tetapi, ini akan menjadi kali pertama Krei Callaghan kembali pada rutinitasnya di sekolah setelah segala yang telah dirinya alami. Hanya berupaya membiarkan waktu pulihkan kembali kesehatan psikisnya lagi. Sungguh siapa pun dapat menemukan napas yang dipaksakan dalam rautnya. Mencoba tuk menjalani saja apa-apa yang tersisa di dalam hidup karena segalanya kini telah luput dari genggaman, tidak ada lagi yang tersisa dari dirinya untuk dapat hilang. Mungkin itu adalah hal yang baik-hiburnya dalam benak. Mereka bilang pria hanya mampu bahagia satu kali, setelah hal itu tiada, maka yang pria lakukan hanyalah menjalani sisa-sisa umurnya.

Jam pelajaran pertama kian mendekati usai, tenggelam dalam lamun tak berniat meminta sesiapa pun juluran tolong. Kendati demikian, sesaat saja bel istirahat dideringkan, Takashi Yama menentang enggan berikan hadir di hadapan Krei seraya mengucap, "Oi Yats—"

"—Jangan. Sekarang!" Potong Krei berat diucap.

Takashi Yama mengangguk pada kebenaran asumsinya sendiri akan memperolehnya respon demikian. Seraya berbalik dirinya lantas kembali berujar, "Aku hanya ingin meminta maaf atas semua perlakuanku selama ini, dan aku juga turut berduka atas apa yang telah terjadi pada Nenekmu."

Dibalaslah tatapan nyalang menikam. Krei beranjak dari kursi, hantamkan pundak tanpa satu huruf pun diperdengarkan. Lantas keluar dari ruang kelas, berlari menuju ke sisi kiri atap hanya untuk menemukan bahwa tidak terdapat seorang pun di atas sana. Maka, satu persatu pintu ruang kelas dihampirinya, memindai tiap-tiap wajah. Namun, hasilnya nihil; tak kunjung Krei dapat menemukan keberadaan sosok di dalam kepalanya itu. Maka beralihlah ia kunjungi ruang para guru, bertanya pada salah seorang diantaranya hingga memperoleh jawab yang tak semestinya ia dengar.

"Sensei Namiko, ada kasus lagi!"

"Kamamoto?" Sensei Namiko melepas kacamatanya, beranjak hampiri lemari besi seraya mendengus, "Aih, gadis itu, kenapa harus Krei Callaghan." Diraihnya setumpuk dokumen usang berupa lembaran-lembaran kertas menguning dan juga secarik foto yang jelas sekali menampakkan wajah Hitomi di dalamnya.

"A-aku tidak mengerti," Krei memicingkan netra pada Sensei Namiko di hadapannya kini.

"Umeko Kamamoto adalah murid yang menjadi sebuah aib abadi tentang betapa buruknya sekolah kita dulu-"

"-Tunggu! Sepertinya ada kesalah pahaman, yang ku cari adalah murid di foto ini, Hitomi kamamoto! Bukan Ume-"

Sensei Namiko mengangguk lambat sementara Krei mulai tertegun mencerna keadaan. "Dia menceritakannya padamu bukan? Melompat dari sisi kiri atap sekolah. Krei Callaghan, kau bukan yang pertama kali. Ada begitu banyak murid dari angkatan-angkatan sebelumnya juga mengaku telah bertemu dengannya. Berambut hitam pendek, iris matanya abu-abu dan gemar sekali merokok ...

 Pihak sekolah memutuskan untuk tidak menghiraukan selama Umeko sendiri merasa nyaman untuk tinggal dan tidak mengganggu proses belajar mengajar, setelah semua yang ia alami semasa hidupnya, kami rasa gadis itu berhak mendapatkan tempat di sini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

... Pihak sekolah memutuskan untuk tidak menghiraukan selama Umeko sendiri merasa nyaman untuk tinggal dan tidak mengganggu proses belajar mengajar, setelah semua yang ia alami semasa hidupnya, kami rasa gadis itu berhak mendapatkan tempat di sini. Bahkan banyak yang memberi pengakuan kalau Umeko begitu manis dan ramah. Tapi ... maaf, fakta ini pasti sangat sulit untuk dapat kau terima mentah-mentah."

Terbesitlah satu momen di dalam bus, seorang wanita tiba-tiba saja datang menghampiri, "Permisi, apa kursi ini sudah ada yang menempati?" Ia bertanya-menatap Krei sembari menunjuk ke arah Hitomi, atau tidak? Ujung jarinya ... sebenarnya mengacung pada kursi kosong belaka.

Di bawah cerah langit yg menjadi panggung tarian beberapa ekor burung, Krei duduk berbicara seorang diri pada sebuah kursi taman menghadap bazar sementara tak sedikit orang nampak memperhatikannya dengan sorot tatapan ganjil.

Sopir tersebut mulai menjalankan mesin-beranjak pergi dari area Stasiun Mitsuki. "Mitsuki sudah lama ditutup, nak. Ketika aku melihatmu berjalan keluar seorang diri, aku tahu aku harus segera menolongmu!"

Wallace menutup kembali pintu, Krei segera duduk pada kursi kayu menghadap meja yang dipenuhi dengan lembaran kertas dokumen, pulpen, stempel, serta papan display perak bertuliskan Letnan Jendral. "Taman Kanak-kanak Mizuho, Jembatan Suzushiro, Pabrik Penggilingan HinShin, dan sekarang, kau berkunjung ke Shibuya. Katakan, kenapa kau selalu berkeliaran sendirian di tempat-tempat aneh seperti itu, terlebih di malam hari."

🌙

Lambat laun langkahnya susuri panjang koridor. Silih berganti melewatinya ialah derap kaki para murid yang berlomba-lomba tuk sampai pada daun pintu keluar. Hendak kembali ke rumah namun sesaat dirinya memijak sisi luar, Krei justru menoleh dan kembali memasuki bangunan sekolah. Gancang langkahnya susuri panjang koridor. Dipijaknya tiap-tiap anak tangga menuju sisi utara atap untuk kemudian sejenak menikmati indah pemandangan kota Nerima. Perlahan ia hampiri tepi atap, berdiri dengan mata terpejamkan berharap, Hitomi dapat kembali mendobrak pintu tangga seperti sedia kala dimana kali pertama keduanya saling bertukar tatap. Namun sampai membumbung rembulan berikan tegur untuknya agar lekas beristirahat, kehadiran Hitomi juga tak kunjung dapat ia rasakan. Beralih fajar dirinya masih duduk memeluk pasang kaki di atas sana. Dan mengernyitlah mentari pagi pertanyakan sebab remaja itu berbuat demikian. Hingga pada pergantian dingin dan hangat yang kesekian kali melaluinya ...

Hitomi hadir.

Terperanjat, Krei segera berlari untuk mendekapnya dalam pelukan. "Maaf. Rasanya tidak nyaman melihat ada murid lain yang sama kesepiannya dengan diriku, terlebih kau juga ingin melompat di hari itu, aku hanya mencoba agar apa yang ku alami tidak terjadi lagi."

Krei melepaskan pelukannya, kemudian memberi Hitomi tatapan bisu.

"Kau tidak akan pernah bisa membayangkan besar rasa sesalku karena telah mengakhiri hidupku sendiri. Aku tidak bisa membiarkan siapa pun merasakan penyesalan itu juga. Sakit." Sebulir air mata berayun mengaliri pipi gadis itu.

Krei masih berupaya keras membendung air mata. Ia pikir, tidak akan ada lagi yang akan hilang dari hidupnya. "Kau akan terus ada disini kan?"

"Kau takkan bisa melihatku lagi setelah ini. Tujuanku di hidupmu sudah tuntas. Setiap orang ada masanya, yang lain akan datang dan aku harus ada untuk menolong mereka. Jadi anggap ini sebagai perpisahan, oke? Kau akan melupakanku dalam beberapa hari saja, semua akan ..." Hitomi menjatuhkan dirinya ke belakang, "... baik-baik saja."

Tersentak Krei membelalak, menghirup kuat-kuat oksigen di sekelilingnya seolah sebelumnya ia sama sekali tidak bernapas, gelisah amati sekeliling sebelum akhirnya berlari ke tepi. Hanya untuk mendapati bahwa tidak ada apa pun di bawah sana.

🌙

Kesuraman berganti benderang kala Krei perlahan membuka pintu dan masuk ke dalam rumahnya, tanpa tahu dengan apa lantas kekosongan ini harus diisinya, ia pun berlutut, menyandarkan kepala ke dinding hingga kemudian terlelap di genkan.

Beberapa saat waktu berlalu, ketukan di pintu masuk itu pun akhirnya kembali membangunkan. Rupanya Wallace, berdiri mengenakan setelan jas lengkap seperti biasanya. "Boleh aku masuk?"

Krei membalasnya dengan anggukan.

Keduanya duduk di hadapan secangkir teh hangat, "Aku kesini untuk menyampaikan undangan dari Perdana Menteri untuk konferensi pers sekaligus penyerahan imbalan atas jasamu menghentikan kasus Malam Pembantaian. Tenang saja, segala fakta yang terjadi di Callaghan Psychiatric Hospital telah kami manipulasi sedemikian rupa. Nama ayahmu kupastikan bersih."

Krei mendengus.

"Masyarakat membutuhkan figur pahlawan, Krei." Wallace menambahkan.

Krei menarik napas panjang, kemudian menghembuskannya sebelum berucap lirih, "Kau tahu bagian lucunya? Tidak satu pun rasa sakit ini berasal dari musuhku. Tapi dari orang-orang terdekatku yang kuberi kepercayaan. Yah, mau bagaimana lagi." Kemudian mengerutkan dahi sembari melemparkan satu tanya, "Kau ada rokok?"

.

TAHAP KEEMPAT; DEPRESI
Depresi adalah berada di dalam tubuh yang berjuang untuk bertahan hidup, dengan pikiran yang mencoba untuk mati.
-Anthony Benevidez

[TERBIT] Krei and the Night of Massacre (Krei dan Malam Pembantaian)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang