CHAPTER VIII : TUAN MUDA HIRO DAN TAKERU ONDA

148 22 6
                                    

Kamis, 19 April 2012
Terjebak di dalam kepala, kelam dari masa lalu yang kini kembali menguntit membuat Krei tidak dapat menempatkan diri pada momen yang tengah ia alami saat ini.

Dan di antara bisik tidak jelas percakapan para murid, langkah kaki di luar kelas hingga decit spidol dari materi yang sedang diterangkan, fokusnya hanya terpusat pada detak jarum jam yang entah kenapa membuatnya menjadi semakin gusar.

Dengan berhati-hati, Krei mengeluarkan smartphone dari laci meja, menghela nafas panjang akan kekhawatiran sebab pesan teks yang telah ia kirim pada Hitomi sejak tadi malam belum juga mendapat balasan.

"Ada seorang analis yang berpendapat bahwa konsekuensi dari sebuah konflik tidak selalu bersifat merusak atau disfungsional. Bisa beritahu Saya siapa namanya?" Sang guru melempar tanya. Salah seorang di antara para murid pun mengangkat tangan di tengah hening kebingungan, dan guru tersebut pun memberi anggukan sebagai tanda untuk mempersilakannya menjawab.

"Lewis Coser."

"Tepat sekali. Meski tidak bertentangan dengan 'konflik', Lewis Albert Coser—dalam bukunya yang berjudul The Function of Social Conflict—menerangkan tiga cara untuk mengendalikan gejala sosial ini, agar tak lantas berkembang menjadi sebuah kekerasan ..."

🌙

Bel yang menjadi pertanda tibanya waktu istirahat pun berbunyi, pasang mata Krei yang pada saat itu tengah diselimuti semilir kantuk dibuat sedikit terkejut. Ia pun segera menutup buku, memasukan smartphonenya ke dalam saku celana kemudian menjadi murid pertama yang berlari keluar dari ruang kelas. Tak hirau akan rasa lapar, Krei bawa tergopoh-gopoh pasang kakinya menuju tangga ke sisi utara atap sekolah.

Brakkk!!

Pintu atap dibukanya. Namun, Hitomi tidak ada di sana.

🌙

Krei berdiri di ambang pintu Gakushoku. Ia longokkan kepala dengan pasang mata berkelana, mendapati pemandangan ramai murid berlalu lalang, mengantre makanan, mencari celah untuk dilewati hingga kursi untuk diduduki, sementara bisik demi bisikkan dalam benaknya terus merepet—'Astaga Hitomi, mengapa kau tidak berada di dua tempat yang kutahu semestinya kau ada'—gumamnya seraya menggali akal lebih dalam. Kembalilah ia berlari menyusuri koridor, seakan nyawanya tengah bergantung pada 'apakah ia akan menemukan Hitomi atau tidak'. Dan tibalah ia menghadap ruang perpustakaan. Segera masuk dan mencatat namanya pada absensi tamu—sebagai persyaratan bagi siapapun yang ingin megunjungi ruang perpustakaan—tanpa sedikit pun minat untuk membaca buku. Ia perhatikan sekitar, para kutu buku tengah sibuk mengisi jam istirahat mereka dengan tidak beristirahat. Ataukah mereka justru menganggap belajar termasuk ke dalam salah satu dari sekian banyak cara mengisi waktu istirahat? Apakah kalian setuju jika mereka berpendapat bahwa mengisi waktu istirahat—yang mana berada di luar jam pelajaran—dengan belajar merupakan hal yang benar? Namun, bukankah itu bertentangan dengan tujuan serta fungsi istirahat itu sendiri?

 Ataukah mereka justru menganggap belajar termasuk ke dalam salah satu dari sekian banyak cara mengisi waktu istirahat? Apakah kalian setuju jika mereka berpendapat bahwa mengisi waktu istirahat—yang mana berada di luar jam pelajaran—dengan belaja...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[TERBIT] Krei and the Night of Massacre (Krei dan Malam Pembantaian)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang