CHAPTER XII : KEMATIAN SEBAGAI BAGIAN DARI KEHIDUPAN

176 13 0
                                    

Hangat memeluk tenteram, kala diri tengah menerka samar di balik hening ruang tidurnya, hanya terbaring gemap, tidak terpejam pula tidak terjaga—seolah berada di antara keduanya.

Bukan hanya jam beker di atas nakas, namun seluruh tata ruang begitu ia kenali dengan terperinci. Katakan saja halus permukaan seprai yang tengah ditidurinya saat ini, noda di sudut cermin—entah apa yang menjadi sebab, buku yang berserakan di atas meja usai semalaman mengerjakan tugas, keranjang pakaian kotor di sisi lemari hingga sejumlah bingkai piagam penghargaan pada muka dinding.

Ia menyeka selimut dan dengan perlahan mengangkat tubuhnya hingga berada dalam posisi terduduk. Mulai beranjak, membiarkan langkah gontai terseok-seok membawa diri, hingga kala pasang tapak kaki telah berhasil mencapai ambang pintu, dilihatnya Haruki tiba-tiba berlari menuruni tangga seraya memohon kepada sang ibunda untuk membelikannya boneka daruma usai menyaksikan suatu tayangan di layar televisi kamar.

"Eh? Daruma? Padahal manekineko lebih menggemaskan."

Dikerutkannya dahi—mengetahui persis siapa pemilik sahut suara wanita tersebut, Krei lantas segera berjalan mendekati railing, sekadar memastikan tanpa tahu pasti apa yang sebenarnya harus ia ragukan. Dengan tatap netra tak berkesadaran penuh ia meraba seisi ruang lantai bawah—mencari entah apa yang mengganggu pikirannya. Mulai meraih satu persatu langkah, turun memijak tiap-tiap anak tangga sembari menjinjing ransel di tangan kanannya.

"Aku berangkat naik sepeda saja, takut nanti terlambat kalau harus menunggu di antar Papa."

Begitu jelas menusuk retinanya dalam-dalam hingga air mata pun kini mulai berlinang, sang kakak nampak baru saja menyelesaikan ikatan tali sepatunya di genkan, berdiri dan membungkuk di iringi ucapan pamit yang lantang berbunyi, "Aku berangkat dulu Mama."

Ma-Mama? nyeri di batin membuatnya lantas terkesiap. Hampa keheranan tanpa terlintas tanya, karena ia sendiri tidak tahu untuk apa harus mempertanyakan, hanya saja ini terasa tidak benar. Bagaimana dirinya bisa berakhir di momen ini? Memangnya di mana seharusnya ia berada? Krei tidak sedikit pun mengetahui, Saya sendiri pun sebenarnya tidak mengerti apa yang sedang terjadi dalam bab ini.

"Krei?" Mendengar namanya terpanggil seketika ia pun menoleh ke belakang, "Sedang apa kau di tangga?" Rupanya sang ayah, bertanya sembari memperkuat ikatan dasi merahnya dengan kedua tangan, Krei lantas menyingkir untuk memberikannya jalan, tak terlintas bahkan satu huruf pun untuk menyusun jawab.

Semangkuk sup miso kini berada di hadapan, harumnya bahkan tak sedikit pun ia hiraukan, bergeming pada senyap pemandangan canda tawa ibunda dan sang ayah--tak mampu dirinya untuk menempatkan diri dalam situasi tersebut.

Krei?

Krei kau tak apa?

Krei!

"Krei!" Sang ibu memanggil untuk kesekian kalinya—menyentak kesadaran yang sebelumnya berlayangan entah kemana. "Ya?" Jawab Krei hampir tak terdengar.

"Kau mau berangkat di antar Papa atau naik sepeda saja?" Sang ibu bertanya.

Krei mengerutkan dahi.

"Krei sudah terbiasa berangkat sendiri, mungkin akan lebih nyaman baginya jika tetap begi—"

"—Aku ..." sahut Krei memotong ucapan sang ayah, "... Aku berangkat sama Papa saja," ia memperjelas.

.

Menenggelamkan wajah dalam dekapan debar jantung sang ibunda seolah tengah melampiaskan rindu yang begitu hebatnya, "Ayo Krei! Nanti kau terlambat," seru sang ayah yang telah lebih dulu berada di dalam mobil. Pintu gerbang otomatis itu bergeser membukakan jalan, "Kau sudah tidak marah lagi kan?"

[TERBIT] Krei and the Night of Massacre (Krei dan Malam Pembantaian)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang