CHAPTER X : RUMAHMU, KAMARMU, TOPENGMU

152 15 0
                                    

"Trauma adalah hantu paling nyata dan teror yang paling buruk. Ia datang tak sekadar untuk menakuti atau mengusirmu. Tetapi mengempit napasmu, menguasai tiap sudut ruang berpikirmu, bahkan memelukmu saat kau tidur dan menyambutmu ketika kau bangun."

-Krei Callaghan

-----

Selasa, 24 April 2012
Krei ...

Samar tertangkap seorang wanita tua tengah memanggilnya dari bawah alam kesadaran. Lantang namun ringan dan santun ketika didengar.

Krei ...

Matanya mulai berulang kali mengerjap, sesuaikan indra pada remang cahaya pagi yang masuk lewat kaca jendela lantaran gorden berada dalam kondisi terbuka.

Krei ... Bangun! Kau akan terlambat.

Kembali lagi namanya terpanggil, Krei ... Namun kali ini beralih menjadi suara laki-laki dewasa, ... letakkan benda itu dan kembalilah ke kamar! Oh aku percaya dia tidak akan mendengarkanmu. Karena jika iya maka dia akan melewati keseruannya. Benar bukan, Krei? Hentikan kegilaan ini Kensho! Kau kehilangan dirimu sendiri. Lihat siapa yang membuatnya menjadi seperti itu. LARI HARUKI! Sifat aroganmu yang menarik pelatuknya. Kehilangan dan rasa bersalah itu, mendampingi sisa sisa hidupmu!"

Ia angkat tubuhnya secara perlahan hingga berada dalam posisi duduk, menyapu pandang ke sekeliling ruang yang begitu akrab dikenali, namun juga asing seolah ia tak seharusnya berada di sini-di kamarnya sendiri.

Beranjak dari kasur tanpa kesadaran penuh, Krei mengendap-endap keluar dari kamar untuk meraih sumber suara. Dengan tatapan kosong bak tiada berjiwa ia terus bertanya pada dirinya sendiri akan keberadaannya saat ini, namun di saat yang bersamaan intuisinya pun tahu persis dengan apa akan menjawab.

Keadaan begitu tenang. Hingga tanpa ia sadari, langkah kaki yang sedari tadi menghantarnya itu kini telah sampai menghadap ruang dapur. Sang Nenek yang nampak tengah menyibukkan diri sendiri itu lantas dibuatnya menoleh, "Lho, ada apa? Kau kurang sehat?" Nenek Hiyama bertanya dengan tutur nada begitu halus.

Kelopak mata Krei berkedut kala dirinya berbicara dengan suara tertahan di dalam mulut. Potongan demi potongan gambar mengerikan menghampiri entah dari mana; mayat yang berada dalam keadaan hangus, kabut di sepanjang jalan, foto-foto para pemain bisbol, hingga air pun sontak berlinang. Benak yang sebelumnya mempertanyakan keberadaan kini merubah kalimatnya. Bukan lagi di mana? Namun, bagaimana? "Bagaimana aku bisa ada di sini?"

Mendengarnya, Nenek Hiyama pun mengerutkan dahi, "Apa maksudmu?"

"Semalam ... Aku di Shibuya," ucapnya lirih hampir tak terdengar, menyipitkan mata seolah tengah berusaha terus menggali lebih dalam karut ingatannya, "Aku di Shibuya," ia mengulangi perkataannya, "Aku di Shibuya," dan mengulanginya lagi dengan lebih keras, "Tapi ... Pagi ini aku terbangun di sini. Bagaimana bisa?" 'Mungkinkah kejadian semalam hanyalah mimpi?' sahut batinnya.

"Bicara apa kau ini? Pulang begitu larut lalu berlari masuk ke kamar tanpa mengatakan apa pun. Apa kau sedang dibawah pengaruh alkohol?"

'Tunggu ... Itu bukan mimpi? Kalau begitu ...' "Apakah ada yang mengantarku pulang?" Kembali dirinya bertanya pada sang Nenek.

"Kau pulang sendirian! Sudahlah, lain kali Nenek tidak akan membiarkan kamu berkeluyuran malam-malam lagi. Sekarang bersiap-siaplah! Kau akan terlambat ke sekolah."

Krei menundukkan pandang, kemudian berbalik, terdiam sejenak sebelum akhirnya menyadari sesuatu, "Ini tidak benar, ini tidak benar." Aura kebingungan seketika menggerogoti akal sehat. Membawa serta rasa gelisah, Krei membasuh wajahnya, berulang-ulang kali sampai-sampai rambutnya menjadi basah, pula dengan kaos yang tengah dikenakannya itu, hingga cermin yang kini telah dipenuhi bulir cipratan air.

[TERBIT] Krei and the Night of Massacre (Krei dan Malam Pembantaian)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang