CHAPTER I : SESEORANG MEMBUKA PINTU TANGGA MENUJU ATAP

452 52 9
                                    

Selasa, 10 April 2012
Tersentak menghirup kuat-kuat oksigen di sekeliling seolah sepanjang malam selama tertidur dirinya sama sekali tidak bernapas. Sesak dan berdesing. Gelisah amati seisi ruang, tatapan tanpa rupa memperhatikannya dari segala sudut hingga sesuatu pun membuatnya sontak terkesiap. Sebuah bayangan, nampak memaksa masuk lewat celah bagian bawah pintu. Bayangan yang terus menerus bergerak menelannya dalam rasa penasaran untuk menghampiri.

Ia menyeka selimut dan mulai menurunkan satu persatu kaki jenjangnya dari atas ranjang. Terasa bagai memijak tumpukan salju sesaat telapak bersentuhan dengan permukaan lantai. Ia berdiri perlahan, kerangkanya berkeluh tak kuasa menopang. Satu demi satu langkah lamban diraihnya, hingga sampailah ia menghadap pintu berjarak satu putaran kenop untuk dapat dengan segera mengetahui siapa pemilik bayangan tersebut.

"Jangan dibuka kak," lirih Haruki dari sisi lain pintu menyulut kecepatan degup jantungnya seperti derap langkah kaki kuda, "Mimpi burukmu dimulai sesaat setelah kau membuka pintu. Seandainya dibiarkan menutup, mungkin segalanya akan baik-baik saja, setidaknya untuk aku."

"Apa yang bisa ... kami harapkan darimu jika ... hanya untuk ... sekotak yoghurt saja ... kau ... lalai?" Parau suara wanita terputus-putus-seperti tengah sesak napas—dari belakang seolah menarik paksa wajahnya untuk berbalik. Maka ia pun melakukannya. "Pejamkan kembali ... matamu itu di atas ... kasur!" Adalah kepala tanpa tubuh sedang memelototinya dari atas ranjang, "Jangan berani kau buka pintu itu jika HANYA UNTUK MEMBUAT ADIKMU TERBUNUH!"

Deru mesin di belakangnya mengalihkan perhatian, maka dengan gugup ia pun kembali lagi berbalik—mendapati pintu kamar sudah sepenuhnya berada dalam keadaan terbuka; tampakkan sang ibu kini berdiri menatap tepat di ambang tanpa sepatah kata pun ia bisikkan. Dan tepat di antara kedua kakinya, adalah rantai gergaji mesin berputar sangatlah kencang lantang menyengat telinga sedalam-dalamnya. Kemudian sebutir air dari mata kiri pun jatuh begitu anggun menyentuh lantai. Dan, gergaji mesin tersebut pun naik. Merubah raut mimik sang ibu dalam sekejap, meringis mana kala wajahnya kian memerah—menahan kepedihan. Isi perut mulai jatuh berceceran ke lantai dari tubuhnya yang telah terbelah menjadi dua bagian.

"Sifat aroganmu yang membuat mereka terbunuh." Tertangkap gamblang di netra, laki-laki berpostur tinggi kurus sedikit bungkuk. Tekstur retakan terlihat jelas pada topeng badut berwarna putih yang tengah ia kenakan. Hidung mancung dicat merah dan pipi lateks yang bulat mengembung, menatap beringas kurang dari sejengkal di hadapan. Tongkat bisbol bertulis 'FullSwing' penuh noda darah menjulur ke lantai dari genggaman tangan kanannya.

"Mendampingi
                   sisa-sisa
                             hidupmu."

Krei terjatuh dari atas kasurnya bersamaan dengan selimut bermotif burung shima enaga yang dijahit sendiri oleh tangan neneknya. Menggeliat dibanjiri peluh, napasnya terengah tidak karuan.

Seseorang mendobrak masuk sebabkan debar jantung Krei mendadak terpompa menjadi lebih cepat. "Hey hey hey hey hey, tenanglah itu hanya mimpi, semuanya sudah berlalu, tarik napas," ujar wanita tua mengenakan terusan bermotif bunga tsubaki terseok-seok menghampiri kemudian mendekap Krei di dalam pelukannya. Sampaikan tenang, hingga napas cucu semata wayangnya itu pun perlahan mulai kembali teratur pula detak jantungnya kembali stabil. "Tak apa, kau baik-baik saja. Tak akan terjadi lagi, tak ada lagi yang perlu kau khawatirkan."

Dengan nada bergetar Krei membalas, "Maafkan aku, Nek," sebelum akhirnya hanyut di dalam tangis yang tersedu-sedu.

----

----

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[TERBIT] Krei and the Night of Massacre (Krei dan Malam Pembantaian)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang