CHAPTER XIII : PILAR DAN BALOK KAYU MELINTANG

218 10 1
                                    

3 Tahun Yang Lalu
17 Maret 2009, Beberapa hari sebelum peristiwa Malam Pembantaian pertama.
Beterbangan ke sana kemari mengelilingi ruangan namun masih enggan pergi melalui lubang ventilasi yang memancarkan cerah cahaya matahari masuk, butiran-butiran debu itu seolah mampu memahami perasaannya.

Akeno Jinrei.

Sebagian besar masa hidupnya telah ia habiskan di sini, di toko perkakas milik mendiang ayahnya ini, tak percaya kini telah tiba hari di mana ia harus mulai berkemas. Satu persatu peralatan yang tidak berhasil terjual itu pun di keluarkannya dari dalam gudang, menemaninya hanyalah curahan peluh yang membasuhi kening. Dan di tengah letih raga dan batin itu, seseorang tiba-tiba saja mendobrak paksa pintu masuk—seketika menyentak Akeno hingga degup jantungnya mendadak hilang selama sepersekian detik.

Pemandangan yang tak biasa pun kini berada tepat di hadapan, seorang pria kurus berpiama biru muda khas rumah sakit yang telah lusuh terhuyung-huyung menghampiri seraya menyebut nama Akeno berulang-ulang kali dengan nada lirih dan rapuh sebelum akhirnya ia jatuh terhempas ke muka lantai.

Terkesiap dengan jantung yang mulai mempercepat debarnya, Akeno acap berlari menghampiri kenyataan bahwa sosok pria tersebut merupakan seseorang yang dapat ia kenali dengan begitu baik, "Sho!"

"Ada apa dengan tokomu?" Kensho bertanya dengan upaya yang terdengar begitu jelas keluar dari kerongkongan tengah menyembunyikan rasa sakit, "Kenapa berkemas?" Imbuhnya memaku tatap pada sejumlah kardus-kardus di lantai.

"Kau compang-camping begini malah mengkhawatirkan toko," Akeno menyalak diselimuti kepanikan, perlahan membantu Kensho untuk kembali bangkit hingga keduanya pun kini berada dalam posisi terduduk di lantai. Raut kengerian terlukis pada wajah Akeno kala menatap tak sedikit luka goresan, lebam yang telah membiru, bahkan darah yang telah mengering menodai sekujur tubuh Kensho, tak mampu untuk terus diungkapkan lewat kata-kata, sungguh keadaannya begitu mengerikan.

"Apakah ini semua ulah bank?" Kembali Kensho melempar tanya.

"Tidak," Akeno mengernyit, "... Aku menjual tokonya tetapi bukan itu yang menjadi masalah! Siapa yang membuatmu jadi begini? Beri tahu aku dan akan ku injak siapapun cecunguk itu!"

Kensho menegakkan posisi duduknya, menoleh dengan pasang bola mata yang dibiarkan beralih tatap pada kawan masa kecil di sisinya itu, "Berani sekali kau menjual kenanganku. Di toko perkakas ini kali pertama aku bertemu dengan kau dan mendiang ayahmu. Tidak akan kubiarkan, katakan pada pembeli itu kalau aku sudah membelinya lebih dulu."

"Tidak bisa," Akeno perlahan memperhatikan sekitar, dan Kensho pun mengikuti arah pandangnya itu. "Ini sudah resmi menjadi milik mereka. Maaf, tetapi aku benar-benar membutuhkan uangnya." Jelas Akeno seketika menciptakan hening yang tak sempurna lantaran dapat terdengar jelas berat deru napas Kensho keluar dan masuk melalui rongga mulut.

"Kalau begitu... Aku akan membelinya dari mereka." Sahut Kensho disertai seringai, "Akan kutawarkan nominal berkali-kali lipat hingga mereka tidak lagi mampu untuk dapat menolaknya. Alih-alih toko perkakas, akan kubuat tempat ini menjadi sebuah pub, kau akan menjadi seorang bartender," Kensho terkikik pada ucapannya sendiri—terdengar begitu gugup, datar dan hampa, "Bukankah itu terdengar menyenangkan?" Ditatapnya Akeno dalam-dalam dengan air mata yang bak enggan untuk jatuh, seolah mengisyaratkan permintaan 'tolong' yang pula enggan untuk diucap.

"A-aku akan menghubungi Tokyo," Akeno beranjak memasuki sebuah ruangan.

"Oh hohoho.. akan kubunuh kau kalau berani menghubunginya." Kensho memaksakan diri untuk ikut bangun, namun rasa nyeri seolah menarik bokongnya untuk kembali melekat pada permukaan lantai.

[TERBIT] Krei and the Night of Massacre (Krei dan Malam Pembantaian)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang