CHAPTER XI : PERMAINAN LEMPAR TANGKAP

152 12 0
                                    

25 April 2012 , 02:11 Malam
Tak luput dikenakannya sarung tangan medis, seorang wanita tua berulang kali menekan kasa guna menghentikan pendarahan, kemudian membasuhnya dengan larutan garam dan cairan antiseptik sementara sang pemilik luka memejamkan kelopak mata, hanyut dalam detak jarum jam yang kian menarik lelap alam bawah sadar.

Dan tiba-tiba saja jarum penunjuk detik itu berhenti bergerak. Untuk sesaat segalanya terjeda dalam hening. Hanya sesaat, sebelum kemudian ia kembali berdetak. Namun, kali ini menuju ke arah yang berlawanan.

Kedua jarum lain mulai menyertai putaran mundur tersebut, melewati pukul satu, terus bergerak hingga menunjuk pada pukul dua belas, dilewatinya, kini berada di pukul sebelas, sepuluh, sembilan, delapan, terus menerus hingga kecepatannya kian bertambah, semakin cepat sampai-sampai ketiga jarum tak lagi kasat di mata.

Dan, putaran tersebut terhenti. Jarum pendek menunjuk tepat pada pukul tiga, jarum panjang pada pukul dua belas, sementara detik kembali berdetak ke arah yang semestinya.

30 September 2007 , 03:00 Malam
Ketukan itu masih terus berlanjut mengisi senyap.

Terjadi sejak kali pertama dirinya menginjakkan kaki di dalam Kediaman. Jika kau mempertanyakan kenapa ia lebih memilih bungkam dan menghadapi hal semacam ini sendirian, lingkungan lah yang menjadi jawabnya. Ia tahu betul bagaimana kedua orang tuanya akan bereaksi jika mendengar hal-hal berbau supranatural.

Oh Kensho, dewasalah! Ucapan yang telah lebih dulu terbayang dalam benak, bahkan sebelum ia mendengarnya secara langsung dari mulut mereka.

Biasanya kejadian ini akan terhenti pada pukul empat, jadi yang dapat ia lakukan hanyalah menunggu. Duduk meringkuk dengan dekapan diri yang bergetar di sudut tergelap ruangan. Tak mampu bahkan untuk mengalihkan selayang pandang, membelalak tatap pada jendela dengan gorden yang dibiarkan terbuka, sorot lampu jalan bak dipersilakan masuk sebagai satu-satunya sumber cahaya dalam kelam.

Sang Ibunda yang memberi anjuran untuk mematikan lampu di waktu tidur. Oh sungguh, tidak satu pun penghuni rumah dapat membantah segala ucapannya. Ia akan mulai merepet soal hormon melatonin; ketika otak merasa kebingungan untuk membedakan antara siang dan malam saat melihat cahaya.

Tapi Kensho muda tak dapat membohongi rasa takutnya. Bukan karena suara ketukan itu, namun, pada apa yang menjadi penyebabnya.

Nampak pantulan bayang Melina menyeringai dengan tatap menyalak, terus-menerus membenturkan kening pada kaca jendela. Pantulan yang jelas-jelas bukan berasal dari arah luar.

.

"Aku akan memberimu obat untuk meredakan nyeri," ucap wanita tua itu sontak mengembalikan kesadaran Kensho. "Lukanya tidak fatal, akan mengering dalam satu atau dua bulan, kau beruntung pakunya tidak berkarat. Tapi jika setelah luka kering kau masih memiliki keluhan maka saya sarankan agar segera ke rumah sakit."

"Jika masih harus ke rumah sakit lalu buat apa klinik ini didirikan," Kensho beranjak dari kursi dengan telapak yang terbalut perban.

.

Kala putih dan merah muda saling berdamping mekar, kuntum nan elok menghirup hembus semilir udara malam. Sakura yang singgahnya tak pernah bermaksud tuk menetap.

Lonceng kecil di atas pintu klinik berdenting ketika seorang pria kekar berkumis tipis menampakkan diri dari baliknya. Sesaat terdiam menyapu pandang, kemudian kembali berjalan masuk ke dalam mobil sedan putih yang terparkir pada sisi jalan. Tak lama setelahnya, pria pendek bersetelan jas lengkap serta topi fedora berwarna abu menyusul keluar, ditahan olehnya pintu dengan punggung tangan agar lantas tetap berada dalam keadaan terbuka.

[TERBIT] Krei and the Night of Massacre (Krei dan Malam Pembantaian)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang