CHAPTER IV : SETSUBUN SAKKA DAN SUPIR TAKSI YANG MEMAKSA

153 40 13
                                    

Polusi cahaya dari berbagai sumber seperti; papan reklame, lampu-lampu penerang jalan dan gedung-gedung perkantoran mengacaukan jam sirkadian beberapa ekor burung. Berkicau dan beterbangan kesana kemari—melupakan waktu istirahat mereka.

"Tempat ini bagus juga buat jadi spot foto!" Krei menangkap pemandangan rumah-rumah di sekitar dari balik lensa kamera sesaat sebelum Hitomi merebutnya, "Berikan padaku! Kali ini kau yang di dalam layar. Aku akan mencari tempat untuk bersembunyi dan merekammu secara d—"

"—Tunggu-tunggu," Krei mengernyit, "Apa aku melewatkan sesuatu? Kenapa kau begitu terbiasa dengan keterlambatan informasi?"

"Ish, kau bahkan tidak menyimak cerita Haruto tadi. 'Siluman' ini hanya menggoda laki-laki. Sudahlah Krei, lakukan saja! Ingat, kalau kau menjumpai seseorang, dia bukan manusia!"

Dari balik dinding klinik perawatan gigi Hasuike, Hitomi menekan tombol rekam. Tepat ketika roda sepeda yang dikendarai oleh Krei bersentuhan dengan jembatan beton berlapis aspal di atas tenangnya arus sungai Shakuji. Krei mengayuh perlahan menuju seberang. Perasaan absurd menghelus sekujur kulit, suram mencekam selimuti sekitar yang sungguh tiadalah sehampa kelihatannya.

"Malam ini; Sabtu, empat belas April tahun dua ribu dua belas, pukul tiga lewat empat puluh satu menit. Aku, Hitomi Kamamoto bersama salah seorang rekanku sedang berada di lokasi yang mana menurut pengakuan Haruto Chiba terdapat sosok hantu berwujud Geisha, sebagai dalang di balik kasus pembunuhan ibu kandungnya sendiri, pada sembilan belas Desember dua ribu empat lalu. Apakah hantu Geisha itu akan menampakkan diri? Mari kita saksikan saja bersama!"

Krei memperhatikan sekitar begitu sampainya ia pada sisi lain jembatan tanpa menemukan apa-apa, maka kembalilah dirinya menyeberang—mengayuh kearah Hitomi.

"Dapat sesuatu di kamera?" Krei berbisik.

"Tidak. Kau bagaimana?" Tanya Hitomi.

Krei menggelengkan kepala, "Hawanya memang terasa aneh. Namun, entahlah. Mungkin Haruto Chiba benar-benar seorang bajingan yang memerkosa dan membunuh ibunya, lalu membuat kebohongan tentang hantu Geisha sebagai penyangkalan."

"Ck! Sial! Mampus saja dia membusuk di penjara!" Geramnya seraya mengeluarkan sebuah bungkus rokok dari dalam saku celana.

"Hei hei, aku hanya asal bicara. "

"Ayo pulang!" Jengah Hitomi—menekuk wajah yang dimotori rasa gundah—kembali mengemas alat-alat berburu hantunya sementara Krei hanya bisu memperhatikan. Berpikir bahwa tidak mungkin membiarkan gadis itu pulang sambil gigit jari, maka ia pun berupaya sedikit memperbaiki keadaan dengan menuturkan ajak, "Hitomi, aku melihat toko swalayan dua puluh empat jam saat berada dalam perjalanan kesini tadi. Kita mampir sebentar ya."

Hitomi mengangguk kecil sebagai bentuk rasa setujunya—walau terkesan begitu samar. Lantas menduduki kursi boncengan dan mulai menyulutkan api dari korek gas kepada ujung rokoknya. Krei pun perlahan mulai mengayuh, "Tapi, menurutmu, mungkinkah Geishanya sedang libur karena kehabisan susu? Sayang sekali padahal aku sedang haus," ia bergurau. Hitomi memukul pundak Krei—membuat sepedanya sedikit oleng. "Lho kenapa?" Krei tertawa, "Bukankah ia menjanjikan susu pada Haruto Chiba?" Sambungnya.

"Bisa diam tidak? Kau membuatku semakin kesal," Tak seperti ucapannya, Hitomi justru nampak begitu jelas menahan seringai di kedua sudut bibir. Krei menyadari itu.

"Wah wah lihat, haha, kau menahan senyum!"

Hitomi melepas senyumnya, dan memukul pundak Krei. Lagi.

Demikianlah mereka meninggalkan apa yang tak nampak—namun bukan berarti tidak ada. Adalah tepat di pinggir jembatan, seorang wanita mengenakan kimono dengan wajah putih pucat menari-nari seorang diri, menyeringai seraya memperhatikan kepergian dua remaja itu. Kemudian ia menoleh, ke arah seseorang yang sedang membaca kisahnya saat ini.

[TERBIT] Krei and the Night of Massacre (Krei dan Malam Pembantaian)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang