"Maaf Jaemin, aku terpaksa menemuimu secara langsung di kantor. Kau pasti sedang sibuk, tapi... aku hanya punya kesempatan hari ini, karena besok mungkin aku sudah tidak di sini lagi."
Jaemin menatap wanita cantik yang duduk di hadapannya sambil mengerutkan kening heran. Hari ini Winter terlihat jauh lebih ramah dibandingkan pertemuan mereka dua hari yang lalu, saat Winter mendadak panik—mendengar pernyataan Jaemin yang dengan tegas menyuruhnya untuk segera meninggalkan Jisung.
Jaemin hanya mengangguk, memaklumi. Ia duduk di kursinya dengan tenang, bersiap mendengar apapun yang akan diutarakan wanita itu.
"Aku titip ini untuk Jisung." Winter menyodorkan sebuah amplop cokelat berukuran besar di meja kerja Jaemin. Lelaki itu kembali mengernyit heran, menatap Winter dan amplop yang tergeletak di atas meja itu secara bergantian.
"Itu adalah surat kepemilikan apartemenku. Harganya memang tidak seberapa, tapi aku ingin Jisung memilikinya. Itu adalah satu-satunya kenangan yang kami punya ketika kami diberi kesempatan untuk tinggal bersama. Aku juga sudah mengurus surat pengalihan kepemilikan atas nama Park Jisung. Jadi... Jisungie akan menjadi pemilik resmi apartemen itu setelah usianya menginjak tujuh belas tahun."
Jaemin cukup tercengang mendengar penjelasan Winter. Dia masih tidak menyangka kalau wanita itu mengajaknya bertemu hanya untuk menyerahkan harta yang ia miliki kepada putra mereka. Jaemin mengira, Winter telah berubah pikiran. Dia sedikit berharap—kalau wanita itu datang menemuinya ke kantor, hanya untuk membahas masalah pernikahan yang tempo hari sempat Jaemin tawarkan, sebagai syarat agar bisa tinggal bersama Jisung.
Jaemin pikir, Winter pasti tidak akan sanggup meninggalkan putra mereka dan kemungkinan besar akan menerima syarat tersebut.
Namun.. Pemikiran Jaemin ternyata salah.
"Aku ingin berterima kasih padamu Jaemin, karena selama ini kau sudah mau membesarkan dan memenuhi semua kebutuhan Jisung. Aku harap, kalian bisa lebih dekat lagi dan lebih sering meluangkan waktu bersama. Setidaknya dengan begitu, Jisung tidak akan merasa kesepian lagi." Winter berbicara dengan nada tenang dan penuh kendali. Matanya tak lepas memperhatikan raut wajah Jaemin secara detail, seolah ingin merekam apapun yang dilihatnya hari ini untuk diingatnya nanti.
Lelaki itu tetap bergeming di tempatnya. Ia hanya membalas sorot mata Winter dengan pandangan yang sulit diartikan. Di sisi lain dia ingin melupakan semua kenangan mereka, namun kata hatinya terus saja menolak. Jaemin tidak bisa berbohong. Dadanya masih selalu berdebar kencang setiap kali melihat Winter. Jaemin sendiri tidak bisa memungkiri, kalau perasaan cintanya pada Winter Kim terlampau besar, bahkan masih sama seperti dulu.
"Baiklah. Aku rasa cukup. Sore ini kau boleh menjemput Jisung di apartemenku. Oh ya, aku juga titip salam pada ibumu, karena aku mungkin tidak sempat lagi berpamitan padanya. Tanpa bantuan beliau, seumur hidup aku mungkin tidak akan pernah bisa bertemu dengan putraku. Jadi tolong sampaikan ucapan terimakasihku pada Bibi Yoona." Winter berdiri dari tempat duduknya. Ia tersenyum lembut seolah memberi isyarat salam perpisahan pada mantan kekasihnya.
"Aku pergi dulu. Jaga dirimu baik-baik."
Jaemin terkesiap kaget. Refleks bibir Jaemin menyebut nama Kim Minjeong dengan suara lantang, saat melihat wanita itu mulai berjalan menuju pintu keluar.
Mendengar namanya disebut, Winter pun kembali menoleh ke belakang. Memastikan kalau pendengarannya tidak salah.
"Kau memanggilku?."
Jaemin mengangguk kecil. Ia beranjak dari singgasananya kemudian berjalan mendekati Winter sambil mengancing jasnya.
"Aku akan mengantarmu sampai ke lobi depan. Kebetulan aku juga ingin ke lantai bawah. Jadi... ayo turun bersama."