Jisung menyeka darah segar di ujung bibir tipisnya, sembari menyaksikan beberapa teman sekolahnya yang kebetulan ikut terlibat perkelahian bersamanya, satu persatu telah keluar dari sel tahanan—tempat pengasingan bagi para siswa yang melanggar peraturan.
Bocah tersebut tengah di hadapkan pada situasi yang kurang menyenangkan. Tak lain ketika menghadapi kemurkaan beberapa orang tua murid. Yang sebagian dari mereka terus menyalahkan Jisung atas setiap pelanggaran yang dilakukan anak-anak mereka.
"Jake, sudah Mommy peringatkan berkali-kali, kau jangan bergaul lagi dengan anak pembawa masalah itu!. Lihat sekarang, kau juga ikut kena imbasnya kan?." Celetuk salah seorang wanita dengan tatanan rambut khas ibu pejabat berkelas. Nada suaranya sengaja ia tinggikan. Hanya untuk menyindir salah satu tahanan sekolah yang terkenal sering membuat kekacauan. Mata wanita itu beralih menatap anak lelaki berperawakan tampan, terkesan polos, namun sangat bertolak belakang dengan kelakuannya yang brutal itu—dengan pandangan tajam seolah ingin mengintimidasinya lewat gertakkan mata.
Namun Park Jisung, bocah lelaki yang dijuluki si troblemaker sekolah, hanya merespon sindiran nyonya Smith dengan seringaian kecil. Tidak peduli pendapat wanita itu tentang dirinya.
Jisung menganggap perkataan nyonya Smith—ibu dari salah satu teman sekelasnya itu, semata-mata hanya bentuk pelampiasan rasa kesal karena merasa malu dengan kelakuan Jake yang sebelas-duabelas memiliki jiwa pemberontak seperti nya.
"Hah!. Orang tua jaman sekarang bisanya hanya menyalahkan orang lain saja sebagai tameng."
Jisung tidak merespons. Dia tahu itu suara Zhong Chenle yang terkenal dengan mulutnya yang ceplas-ceplos. Tipikal anak yang hidup bebas dan pembenci segala aturan.
"Padahal semua orang juga tahu, semua ini terjadi karena kelalaian para orang tua yang tidak becus mendidik anak-anak mereka." Lanjut Chenle dengan suara datar namun cukup menggema di ruang kecil berukuran 4x4 yang nyaris kosong tak berpenghuni.
Ya. Di dalam ruang tahanan itu hanya tinggal mereka berdua yang tersisa. Sedangkan kelima teman mereka yang ikut terlibat masalah, satu persatu telah digiring pulang oleh orang tua masing-masing.
"Kau selalu saja menaruh sentimen pada orang lain, Zhong Chenle." ujar Jisung sembari menyikut pelan perut temannya. "Sekarang, sebaiknya kau pikirkan dirimu sendiri bagaimana caramu menjelaskan semua ini pada paman Xiaojun." Lanjut Jisung sambil menunjuk ke arah pintu masuk menyuruh Chenle mengalihkan pandangannya.
"Holy Sh*t!."
Chenle merutuk kesal dengan aksen chinese-nya yang kental. Ketika melihat paman Xiaojun, kakak kandung ibunya yang terkenal disiplin itu, ternyata sudah lebih dulu datang ke sekolah untuk menjemput dirinya. Bocah malang itu pun menggeleng frustasi, seolah sudah mengerti hal buruk apa yang akan menimpanya setelah kejadian ini.
"Zhong Chenle, kau bebas."
Salah seorang security memanggil namanya sambil bergerak membukakan gembok kunci ruang tahanan, yang di desain menyerupai penjara dengan pintu jeruji besi yang kokoh.