"Benar perkataan para Dryad." Anak itu, Agathias, menatap ke depan dengan tatapan kosong. Ia tidak menjawab pertanyaanku atau balik menyapa seperti biasanya. Kemudian, dia melanjutkan ucapannya. "Manusia hanya bisa merusak alam saja."
Astaga, kepribadian hangatnya berubah menjadi seperti ini. Apakah karena berita peperangan yang dimulai oleh Kerajaan Elenio?
Aku memungut semua belati yang menancap di tanah yang tak jauh dari anak yang sedang memeluk lututnya. Dia terus saja melamun, memandang pepohonan di depan dengan tatapan kosong tanpa jiwa.
Tiga buah belati sudah kukumpulkan. Belati bergagang emas berkilau dengan bilah besi yang sama berkilaunya. Kuserahkan tiga buah senjata mirip pisau tapi lebih panjang ini pada sang pemilik. "Ini belatimu."
Sang pemilik dari tiga belati, Agathias, mendongak. Ia menatap wajahku dengan tatapan kosongnya. "Sejak ribuan tahun lalu, manusia itu satu-satunya penyebab pohon mati."
Aku duduk bersila di samping Pangeran dari Kerajaan Elenio ini. Kuusap bekas serat kayu yang masih menempel di belati menggunakan kemeja putih, lalu menyelipkannya di sabuk kulit coklat yang dikenakan Agathias. Tidak ada kantong di bagian kiri, jadi kuselipkan saja.
Kejadian tadi pagi menuju siang tidak kumengerti sepenuhnya. Bagaimana bisa dia membenci orang-orang dari kerajaannya sendiri? Apa yang terjadi diantara mereka? Saatnya aku menggunakan bakat tersembunyi. Memancing menggunakan rahasia.
"Kau tahu?" Aku memulai cerita tentangku. "Di rumahku, aku menanam berbagai tanaman. Sayuran, buah, maupun bunga yang indah."
Agathias masih diam tidak memberikan tanggapan. Dia tetap memandang ke depan.
Aku melanjutkan ceritaku. "Awalnya aku tidak mengetahui aku punya kekuatan penumbuh tanaman. Namun sejak tanganku menyentuh tanah secara langsung di ulang tahun kelima belas, hidupku serasa seorang selebriti penuh aib yang diketahui orang ramai."
Agathias menoleh ke arahku. Ada sedikit cahaya di pupil matanya yang coklat gelap. Bibirnya terbuka perlahan, bersiap untuk mengatakan sesuatu. "Kau juga seperti … itu?"
Itu, aib yang diketahui orang banyak.
"Ya." Aku membalas perkataan Agathias. "Aku juga seperti itu."
Anak berambut pirang sebahu itu kembali memandang ke depan. "Kita memiliki nasib yang sama, Drie."
"Nasib yang sama?" Aku bertanya. Bagian mana dari kami yang mirip? Dia keturunan dari seorang raja yang berkuasa, sedangkan aku hanya seorang anak dari manusia biasa dan seorang Dryad. Dia mungkin punya emas batangan di gudang besar, sedangkan aku harus menunggu jatah bulanan dari Ayah untuk membeli sesuatu. Nasib seperti apa yang sama dari kami berdua?
"Sama-sama dibenci kaum kita dan dianggap tidak berguna." Agathias menjawab dengan suara yang parau.
Ah, dia benar. Aku dibenci teman-temanku karena kekuatan Dryad yang ada di dalam tubuhku. Banyak rumor yang tersebar tentangku, rumor yang kebenarannya hanya diketahui olehku dan sebagian orang terdekatku. Rumor yang memang benar adanya.
Sebagai seorang anak, aku merasa belum bisa membalas jasa kedua orang tuaku. Bahkan di detik terakhir sebelum Ayah meninggal, kekuatan yang kumiliki tidak bisa menolong. Aku dililit sulur kuat, tidak berdaya menatap tubuh yang terjatuh dari ketinggian. Dari kaum Dryad, mereka ingin aku tewas. Bahkan Ratu Dryad menginginkanku, entah karena alasan apa.
Agathias kembali berkata. "Kau sudah melihatnya tadi siang, kan? Bidikanku meleset padahal jarakku dengan Theo hanya beberapa langkah saja."
Ya, aku mengerti. Dia kurang berbakat sebagai seorang pangeran kerajaan yang akan menjadi raja suatu hari nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dryas The Half Dryad
Viễn tưởngDryas tidak pernah berpikir tentang dongeng yang ia sering dengarkan dari ayahnya berubah menjadi kenyataan. Namun, kedatangan para makhluk yang keseluruhan tubuhnya berwarna hijau mengguncang pikiran Dryas. Kekuatan mereka serupa dengan kekuatan ya...