Bab 40 "Kidnapping"

12 3 0
                                    

Bau hangus yang kuat menyebar ke segala arah melalui angin yang berhembus. Api yang terang berkobar melahap pepohonan seperti pasukan ulat yang memakan setumpuk daun segar. Banyak tubuh yang bersimbah darah bahkan sampai kehilangan nyawa karena kejadian tragis antara dua kaum. Semua pemandangan itu jelas terlihat dari puncak bukit di perbatasan Hutan Dryad.

"Aku tidak menyangka dampaknya akan sebesar ini." Mantan Ratu Dryad menggelengkan kepalanya pelan. "Manusia sudah banyak berubah."

"Anda benar, Yang Mulia." Wanita Dryad yang memiliki banyak peralatan ajaib di balik selendangnya membenarkan perkataan Ratu Adrysia. "Artefak leluhur mereka dijaga baik dan mereka berhasil membuat kembali senjata yang digunakan saat ratusan tahun lalu."

Senjata rahasia yang dimiliki oleh Kerajaan Elenio, entah bagaimana bentuknya hingga bisa membuat hutan terbakar parah.

"Seumur hidup saya tidak pernah melihat kejadian seperti ini." Nona Amy melepaskan teropong ajaib yang ia gunakan untuk memantau perbatasan Hutan Dryad yang telah hancur. "Banyak manusia tewas dan Dryad yang kehabisan inti energi."

"Seandainya aku mengakhiri hidup adikku waktu itu, tidak akan pernah ada perang di masa sekarang." Ibu menundukkan kepalanya. Suara mantan Ratu Dryad itu memelan, berbeda dengan suara biasanya yang nyaring dan ceria. "Kehilangan kekuatan lebih baik daripada permusuhan abadi."

"Lalu bagaimana bisa Ibu melindungi Hutan Dryad?" Jika Ratu Dryad kehilangan kekuatannya, Hutan Dryad tidak akan bertahan dari serangan. Saat ini meski dipimpin oleh Dryad yang kuat, banyak prajurit Dryad yang berhasil dikalahkan oleh para manusia. Apalagi saat ratu yang memimpin tidak punya kekuatan.

"Semuanya terjadi karena satu alasan. Sekarang aku tahu apa arti dari kalimat itu." Ibu menoleh ke arahku. Senyuman kembali menghiasi wajahnya yang cantik.

"Yang Mulia! Guru sudah bangun!" Dryad kembar bernama Fiona dan Fiora berseru bersamaan di tengah keadaan penuh pilu. Teriakan mereka mengalihkan perhatian kami dari medan perang yang dipenuhi korban.

"Nenek, Anda baik-baik saja?" Ibu berlutut di dekat Nenek Dryopea yang bersandar di sebuah pohon yang tumbuh di bukit Hutan Dryad.

"Maafkan saya, Yang Mulia. Saya sudah menghambat perjalanan." Masih dalam keadaan lemah, Nenek Dryopea membalas. Dia menundukkan kepala saat berucap.

"Nenek selalu berbicara formal denganku." Ibu tertawa ringan saat Nenek Dryopea selesai bicara. "Lagipula bukan salahmu kejadian ini terjadi."

"Anda memang selalu rendah hati, Yang Mulia Drysa." Nenek tersenyum, memanggil Itu dengan sebutan yang baru kudengar.

"Tidak ada satupun Dryad yang berani memanggilku dengan nama itu." Ibu membalas dengan tawa renyah sambil memegang pinggang dengan kedua tangan.

Nenek bangkit dari duduknya, diikuti oleh Ibu yang berdiri tegak memandangi sekitar. Mereka berdua menggelengkan kepala.

"Entah apa yang harus kita lakukan untuk menghentikan semua ini." Nenek berucap pelan.

"Namun aku sudah punya rencana untuk mengakhiri kebencian di antara dua kaum." Dengan suara yang tegas, Ibu menimpali perkataan Nenek Dryopea. "Menyembuhkan Raja Elenio dan seluruh manusia yang terluka di perang ini."

"Itu tidak akan mudah, Yang Mulia. Apalagi dengan pertempuran yang terjadi saat ini."

Ibu berbalik ke arahku, memandang dengan mata hijaunya yang memiliki sorot yang lembut. "Kita sudah punya kunci utama pemecah masalah."

***

Dilihat dari dekat, keadaan di medan perang lebih parah. Tubuh manusia yang penuh luka tergeletak begitu saja di tanah yang terbakar. Tidak ada sedikitpun energi hijau yang terpancar dari makhluk-makhluk yang hampir keseluruhan tubuhnya berwarna hijau. Akar-akar pohon mencuat dari dalam tanah, menjadi abu karena senjata yang para manusia gunakan.

Dryas The Half DryadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang