"Dryas … tolong … Ayah…."
Tidak mungkin. Tidak mungkin!
Pria yang merupakan ayahku itu tergantung di sebuah dahan pohon dengan akar yang mengikat lehernya. Beberapa orang wanita hijau berada di sekelilingnya.
"Akhirnya kami menemukanmu!" Salah satu dari wanita yang keseluruhan badannya hijau itu berteriak. Seketika itu, jeratan akar membelenggu tangan dan kakiku hingga tidak bisa bergerak. Ikatan yang melilit leher Ayah terlepas, membiarkannya jatuh ke tanah. Suara debuman keras menggema, beriringan dengan bunyi retak tulang.
"AYAH!" Bagaimana bisa ini terjadi?!
"Para Dryad tidak akan membiarkanmu hidup damai, Manusia! Kami akan membunuh kalian semua!"
Kejadian itu masih membekas di ingatan. Pria yang merupakan ayahku itu digantung di sebuah pohon oak yang tumbuh dalam semalam karena ulah makhluk-makhluk berwarna hijau itu. Suara retakan tulang akibat terjatuh dari pohon yang ditanam oleh mereka menimbulkan sensasi ngilu. Dia tewas seketika, para Dryad membawaku ke tempat tinggal mereka yang asing bagiku.
Bahkan aku belum sempat mengucapkan maaf padamu, Yah. Aku sungguh anak yang durhaka.
"Kenapa!? Kenapa semua ini terjadi padaku?!" Aku berteriak sekencang-kencangnya di kurungan akar di dalam tanah yang pengap lagi remang-remang. Kupukul keras akar pohon yang menancap hingga ke bawah tanah, tapi tidak ada kerusakan yang berarti pada akar yang kupukul.
"Kenapa kalian begitu tega!? Aku kembali berteriak. Setetes air mata jatuh ke pipi. Ingatan semasa kecil bersama pria itu kembali muncul di otak. Pria yang ceria dan riang itu, berbeda dengan dia yang kini sudah meninggal.
"Ayah, ceritakan lagi kisah para Dryad!" Aku yang waktu itu masih berumur lima tahun memukul Ayah yang sedang merebahkan badan di kursi sambil membaca koran. Gangguan dariku membuatnya meletakkan koran, lalu merangkulku di pahanya.
"Drie-ku ingin mendengarkan kisah Dryad?" Ayah bertanya dengan suara dibuat lucu sambil mencubit pipiku yang gempal.
"Ya! Ceritakan, ceritakan, ceritakan!" Aku menjawab dengan teriakan berulang berisi permintaan pada Ayah untuk bercerita.
"Baiklah…." Ayah menghembuskan napas.
"Asyiikk!"
"Pada zaman dahulu, di sebuah hutan yang dipenuhi oleh pohon oak, hiduplah sekelompok makhluk penjaga hutan yang seluruh tubuhnya berwarna hijau. Mereka adalah—"
"Dryad!" Aku memotong perkataan Ayah dengan sebuah seruan. Wajah Ayah menjadi masam karenanya.
"Jangan menyela sebelum Ayah bertanya, ya?" Dengan sabar ia memintaku untuk diam mendengarkan ceritanya. Aku mengangguk tanda setuju.
"Dryad sangat membenci manusia karena para manusia sering menebang pohon tempat tinggal para Dryad. Banyak Dryad yang mati karena kejadian itu hingga menimbulkan perang antara dua kaum.
Setelah pertempuran yang melelahkan, Ratu Dryad saat itu mengajukan gencatan senjata. Ia mengusulkan perjanjian damai dengan para manusia. Para manusia menerima perjanjian itu, tetapi tidak dengan para Dryad. Mereka tidak menerimanya karena masih ada dendam kepada manusia."
Aku yang saat itu masih belum mengerti, kemudian bertanya pada Ayah. "Mengapa Dryad membenci Ratu mereka sendiri?"
"Kalau itu, kau pikirkan sendiri saja, Nak?" Ayah tertawa. Saat itu, aku merengut kesal karena dia tidak menceritakan keseluruhannya. Namun, di usia yang ke lima belas sekarang, aku mengerti. Konflik mereka cukup rumit untuk dimengerti anak usia lima tahun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dryas The Half Dryad
FantastikDryas tidak pernah berpikir tentang dongeng yang ia sering dengarkan dari ayahnya berubah menjadi kenyataan. Namun, kedatangan para makhluk yang keseluruhan tubuhnya berwarna hijau mengguncang pikiran Dryas. Kekuatan mereka serupa dengan kekuatan ya...