Aku membuka mata, melihat ke sekeliling. Tidak ada yang berbeda dengan kemarin, ruangan yang diterangi beberapa obor ini masih temaram. Dua pohon apel berbuah lebat tertancap kuat di tengah ruangan, pohon yang kemarin ditumbuhkan oleh Ibu dan aku. Seorang wanita sedang duduk di bawah pohon, entah sedang melakukan apa.
Hawa dingin menembus kulit hingga tulang. Tidak seperti hari-hari sebelumnya meski aku sering tidur di lantai kayu yang lembab. Beberapa lubang ventilasi di langit-langit tidak mungkin membuat udara di ruangan menjadi sedingin ini. Apakah ada Dryad pengganggu yang merapal mantra perubahan suhu? Mungkin itu masuk akal.
Sekeranjang buah beragam jenis ditaruh di sampingku. Keranjang anyaman berwarna coklat itu dipenuhi beberapa buah apel, jeruk, dan anggur segar yang menggoda mata.
Pasti Ibu yang menyiapkannya. Tidak mungkin orang lain.
Kuambil buah apel merah dari keranjang, kemudian meraih belati di pinggang untuk mengupas buah itu. Namun, tidak ada satupun senjata di pinggang.
Aku bangun, barangkali belati itu tertindih di bawah. Namun sayang, tidak ada apapun yang menggantung di pinggang. Bahkan kemeja putih tak berkancing yang kemarin kukenakan juga tidak ada.
"Eh? Kemana belatiku? Kenapa bajuku hilang?!" Aku berdiri, mengedarkan pandangan ke ruangan yang ada di dalam sebuah pohon besar ini. Sebuah baju putih dan beberapa belati yang menggantung di ikat pinggang tergeletak di dekat wanita yang sedang duduk di bawah pohon. Itu baju yang kukenakan kemarin! Kenapa bisa berada di tangan Ibu?
Wanita yang mengenakan himation hijau itu menoleh. Mata hijau yang senada dengan baju yang ia kenakan menatap lembut.
"Kau sudah bangun, Nak?" sapa orang itu. Ia tersenyum, membuat pipi yang mulai dipenuhi kerutan itu terangkat hingga matanya hampir tertutup. "Sepertinya aku terlalu berlebihan, ya?"
"Kenapa Ibu melepas bajuku?" sergahku seraya menghentakkan kaki saat berjalan ke arah mantan Ratu Dryad itu. "Senjataku juga berada di dekat Ibu!"
"Duduklah, Nak." Dia menepuk lantai di dekatnya dengan tangan kanan, memberikan kode untukku duduk. Ratu Adrysia mengusap lantai yang penuh tanah, tempat yang akan kududuki. "Aku sedang menjahit lubang di bajumu."
Aku pun duduk di samping Sang Ratu.
"Pakaian yang sobek ini tidak layak digunakan oleh Putra Mahkota Hutan Dryad." Dia menunjukkan bajuku yang memang penuh dengan lubang karena tusukan duri sulur Ratu Erudyne. Waktu itu, saat pertama kali dibawa ke ruangan ini, sulur berduri mengikat seluruh tubuhku. Akibatnya kemeja putih buatan para Oread itu penuh dengan lubang, berbeda dengan celana kulit yang hanya tergores saja.
"Haha, padahal sebelumnya aku memakai baju yang biasa saja." Aku tertawa. Sebelum menyadari bahwa aku anak dari seorang Ratu Dryad, gaya berpakaianku biasa saja. Tidak bertabur emas dan perak meski aku ingin itu. Baju yang kupakai saat diculik oleh para Dryad bawahan Ratu Erudyne masih tersimpan rapi di gua yang sempat kutinggali di Pegunungan Oread. Sekarang, pakaian baruku sudah penuh lubang dan sedang diperbaiki oleh orang di sampingku.
Tangan halus Ibu memasukkan jarum yang sudah diikatkan sebuah benang hijau ke pinggiran lubang kemejaku hingga menembus ke bawah. Kemudian Ibu mengambil jarum yang tadi ditembuskannya, memasukkan kembali jarumnya ke sisi lain lubang lewat bawah hingga ujung tajam muncul ke atas. Ia melakukan itu berulang-ulang hingga semua lubang akibat tusukan duri sulur tertutup.
"Meski Ibu seorang ratu, Ibu bisa menjahit juga, ya?" Jika di dunia tanpa sihir, biasanya seorang ratu pasti punya pelayan yang akan mengurus setiap keperluan sang ratu. Berbeda dengan Ibu yang bisa menjahit, bahkan hasilnya bagus seperti kebanyakan penjahit lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dryas The Half Dryad
FantasíaDryas tidak pernah berpikir tentang dongeng yang ia sering dengarkan dari ayahnya berubah menjadi kenyataan. Namun, kedatangan para makhluk yang keseluruhan tubuhnya berwarna hijau mengguncang pikiran Dryas. Kekuatan mereka serupa dengan kekuatan ya...