| 6 |

5.9K 176 0
                                    

✿︎✿︎✿︎

Ternyata yang dimaksud ruanganku oleh Henry adalah ruang kerja Abraham Leonard. Terlihat dari foto Abraham dan istrinya yang masih terpajang di dinding. Bahkan papan nama di meja masih bertuliskan nama Abraham Leonard. Artinya, Henry belum sepenuhnya mengambil alih kepemimpinan di Leonard Group sekalipun satu minggu telah berlalu.

Mungkin saja, Henry hanya menjadi perwakilan sementara. Sekalipun sedikit curiga, Cindy sadar ia tak boleh berpkir macam-macam.

Begitu memasuki ruang kerja, pria tua itu menuju kursi di balik meja. Cindy mengikuti, lalu berhenti di depan Henry yang sudah duduk.

"Cindy, secara khusus saya memberimu tugas tambahan. Tenang saja, uang yang masuk ke rekeningmu juga akan bertambah. Mulai saat ini, tugasmu bukan hanya mengurus William, tapi juga mengawasinya. Setelah itu, kamu harus melaporkan semua perilaku aneh William pada saya. Apa kamu mengerti?"

Tak heran Will tak menyukai Henry. Pria itu bersikap seolah semua orang disini bekerja untuknya. Seakan semua orang harus menuruti perintahnya.

Bukankah kediaman ini milik William? Kenapa Henry bersikap seolah dialah yang berkuasa?

Cindy yang awalnya curiga kini menjadi yakin. Henry adalah sosok paman yang ingin menguasai harta Will. Kondisi Will yang kehilangan ingatan akan memuluskan rencana pria tua itu.

Kasihan sekali Will. Pria itu memiliki paman yang hanya menginginkan kekayaan dan kekuasaan keluarga Leonard, Cindy tak bisa membayangkan bagaimana hubungan Will dengan anggota keluarga lainnya. Selama Cindy disini, belum ada anggota keluarga lainnya yang terlihat.

"Maaf, Mr. Henry. Saya sudah menandatangani surat kontrak kerahasiaan. Saya harus merahasiakan semua tentang William. Tidak mungkin saya melapor kepada anda."

Sudut bibir Henry terangkat, matanya memincing, pria itu menganggap remeh penjelasan Cindy. Apa Henry menganggap ucapan Cindy sekedar omong kosong belaka?

Henry meraih tablet di meja, lalu tampak mencari sesuatu. Beberapa detik kemudian, seringai di bibirnya semakin lebar.

"Nanny Lenhart, bukan?" Henry memperlihatkan layar tablet yang menunjukkan website Nanny Lenhart. "Aku bisa menghancurkan bisnis ibumu dalam hitungan detik. Apa kamu yakin masih ingin menolak?"

Deg.

"Menghancurkan? Maksud Anda?"

Sebenarnya siapa Henry yang duduk di depannya hingga mampu menghancurkan Nanny Lenhart. Cindy mungkin nekat jika hanya dia yang menjadi sasaran, tapi ibunya dan seluruh pengasuh dalam organisasi? Cindy tentu takkan berani mengambil risiko.

"Laporkan semua tingkah William padaku. Mudah, kan?"

Dengan berat hati, Cindy mengangguk. Ia terpaksa harus setuju. Setidaknya untuk sementara. "Baik, Mr. Henry."

"Bagus. Kamu takkan rugi membantuku, Cindy." Wanita itu mengangguk lagi. Tapi Cindy meragukan itu. "Pergilah." Usirnya.

Sekalipun sudah berjam-jam telah berlalu sejak ia keluar dari ruang kerja Henry, percakapan antara mereka belum bisa lepas dari otaknya. Bahkan sekarang sudah malam.

Setelah lama berpikir, ia menyimpulkan kalau Henry adalah pengecut yang hanya bisa mengancam dengan sesuatu yang berharga bagi lawannya. Sialnya, otak Cindy belum bisa berhenti memikirkan segala kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi pada Nanny Lenhart. Sebenarnya apa yang bisa dilakukan Will hingga Henry terlihat sangat waspada.

Will belum pulang. Cindy merasa aneh karena sesi terapi Will ternyata memakan waktu hampir seharian. Mungkin terapi orang kaya memang semacam itu. Cindy menghela napas lagi.

Cindy terlalu lama larut dalam lamunan hingga tak menyadari Will sudah berada tepat di depan wajahnya. Will menepuk pipi Cindy pelan.

"Cindy. Uncle menyulitkanmu, ya?" Will berbicara dengan bibir mengkerut. Cindy gemas melihatnya.

Seketika Cindy memasang senyum palsu. Kenyataannya, ancaman Henry cukup mengguncang Cindy. "Tidak, Will. Aku malah mendapat tunjangan bonus."

"Benarkah? Tapi wajah Cindy terlihat muram."

"Tak perlu mengkhawatirkanku, Will." Cindy mengacak rambut Will dan menarik pria itu agar duduk di sampingnya. "Bagaimana pertemuanmu dengan dokter Arnold?"

Dokter Arnold adalah terapis yang menangani kondisi mental dan ingatan Will. Setiap minggu mereka akan ada pertemuan. Padahal Cindy ingin ikut, sayang sekali ia malah harus terkurung bersama Henry.

"Tentu perkembangan Will bagus. Kan ada Cindy." Will berbicara dengan bibir manyun diselingi tawa.

Tentu saja Cindy ikut tertawa. Semakin lama, ia merasa tingkah Will semakin lucu. Entah sejak kapan Cindy merasa nyaman bersama Will, padahal baru kemarin mereka bertemu. Memikirkan ia harus melapor tingkah Will pada Henry membuat perutnya sakit. Cindy tak bisa. Ia tak tega. Ia harus memikirkan cara lain.

"Bagus." Cindy mengacak rambut Will lagi. Will tak pernah menolak, bahkan terlihat senang.

"Cindy, aku punya hadiah."

"Hadiah?" Tanyanya bingung. Saat mulut Cindy masih terbuka, Will dengan cepat memasukkan sesuatu ke mulut Cindy.

"Ehm. Apa ini Will?"

"Karena Cindy baik mau nemenin Will tidur. Will kasih hadiah permen."

Wanita itu tersenyum. "Terima kasih."

"Ayo, kita ke kamar. Will ngantuk."

✿︎✿︎✿︎

Ramaikan dengan vote dan komen, yuk!

Biar Scarlett semangat nulisnya.

Obsess Me, Idiot! [selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang