Chapter 10 : The Letter

234 84 133
                                    

Ottoman, June 1683

Tungkai kaki dibawa melangkah dengan cepat. Sebernanya Ayse tidak berlari, tetapi Ziya merasa bahwa jalan cepat Ayse sepadan dengan larinya. Dedaunan bunga saja sampai bergoyang setelah dilalui Ayse, pun dengan kupu-kupu yang beterbangan kalang kabut. Bahkan beberapa pelayan, dan prajurit istana yang dilalui belum sempat membungkukkan badannya untuk menghormati putri Sultan yang melewati mereka. Ayse tidak peduli, dia tidak gila hormat sebenarnya.

Ayse sedikit menyingkap gaunnya ketika ia melewati tangga, sungguh dia ingin sampai dengan cepat di kamarnya dan segera membaca surat Elias dengan tenang dan damai.

"Kenapa Tuan Putri terakhir tampak bahagia sekali dan terburu-buru? Bukankah kastil utama tempat perayaan ada di sana?" bisikan itu sebenarnya dapat Ayse dengar. Dia memang benar bahagia. Senyumnya makin melebar kala pandangannya telah melihat kastil dimana kamarnya berada sudah di depan mata.

"Ziya..., tolong berikan suratnya. Aku ingin membacanya. Kau pergilah ambil minum dahulu." Ujar Ayse sesampainya ia di dalam kamarnya dan duduk manis di atas sofa. Sedang Ziya tampak kewalahan berjalan samai langkah kaki Ayse. Mencoba tetap tersenyum, perlahan Ziya menyerahkan amplop coklat itu kepada Ayse. Setelahnya, ia benar pergi mengambil minum

"Aku ingin tidak ada orang di dalam sini selain aku dan tolong jangan boleh ada yang masuk." Perintah Ayse pada beberapa pelayan yang memang ada di dalam kamarnya. Tentu langsung dituruti, dan setelah tak ada seorang pun di kamarnya selain dirinya sendiri, pun dengan pintu yang telah tertutup, Ayse nyamankan diri sebelum akhirnya ia buka amplop coklat itu perlahan.

Sudut bibirnya terangkat, matanya berbinar, pun dengan jantungnya yang terasa berdetak lebih cepat. Dia tak menyangka jatuh cinta rasanya bisa segila ini. Ayse buka lipatan kertas, dan mulai membaca satu per satu kalimat dalam surat dengan hati-hati. Senyumnya makin merekah. Ayse memang senang, tetapi perasaannya justru campur aduk. Ada rasa khawatir, dan juga sedih. Walaupun begitu, rasa bahagia lebih banyak ia rasakan. Saking bahagianya, Ayse bahkan membacanya berulang kali hingga lebih dari tiga kali.

Jika saja, tamu yang tak diundang tak berteriak di luar sana mengacaukan suasana yang ia rasakan. Itu Aydin. Siapa lagi yang berbuat semacam itu selain dia? Tak lupa dengan gedoran pintu yang sengaja di keraskan.

Ayse mendengus. Sungguh, kenapa selalu saja Aydin menjadi pengacau hidupnya. Tapi jika bukan karena Aydin juga, dia tidak akan pernah bertemu dengan Elias. Maka, agenda untuk memarahi lelaki itu ia urungkan berganti dengan mengatur napas agar lebih tenang dan bersabar.

"Masuk!" Ayse berteriak mempersilakan Aydin masuk, ia malas sekali jika harus berjalan menuju pintu untuk Aydin.

Tak butuh waktu lama, pintu dibuka lebar, tanpa ditutup kembali. Kerutan kesal di dahi Aydin terlihat jelas. Lelaki ini tampak kesal. Ayse yang melihatnya dudukkan diri dengan tegak. Pikirnya, kenapa malah Aydin yang kesal?

"Kau membuatku kesal. Jika Haseki tidak kembali ke balkon, aku akan bingung bagaimana cara untuk mengakhiri pembicaraan dengan Hur. Kenapa kau pergi tiba-tiba? Bahkan kau mengambil Ziya dariku!"

"Ziya masih di depan?"

"Menurutmu? Kau tidak memintanya pergi, dia tidak akan pergi. Aku bingung sebenarnya dia pengasuhku atau pengasuhmu."

"Kenapa kau marah? Kau membolehkannya untuk ikut denganku, dan kau pernah bilang pengasuh kita milik bersama. Lagipula, ketika bayi kau sering digendong Safiye."

"Siapa yang bilang aku sering digendong Safiye? Kau juga masih bayi!"

"Haseki yang bilang"

Aydin diam dan menghela napas berat. Ia baringkan tubuh di sofa yang lain. Sebenarnya ia tak masalah dengan Ziya. Tapi suasana dan ditinggal Ayse begitu saja membuatnya kesal. Tidak tahu kenapa. Tapi Aydin begitu kesal. Karena menurutnya, jika pergi bersama maka pulang pun juga harus bersama

To (See You)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang