16

1.5K 137 4
                                    

"Sial!" Umpat Friska pelan setelah membuka kedua matanya dan ternyata dirinya masih berada di kamar, bukan di akhirat.

"Gagal lagi! Gue kapan matinya sih anjeng?!" Tanyanya dengan frustasi, perasaan semalam itu sakit yang ia rasakan begitu menyakitkan hingga ia pikir ia benar-benar akan say bye pada dunia ini, namun lagi-lagi pemikirannya salah. Nyatanya ia masih berada di dunia yang membosankan ini.

Friska dengan susah payah mengubah posisinya menjadi duduk, ia mengedarkan pandangannya untuk mencari handphonenya, setelah terlihat ia pun mengambil benda pipih itu kemudian menyalakannya.

"Duh mana laper lagi" Gumam Friska pelan. Ia menatap meja nakas yang ada di sampingnya, hanya terdapat segelas air putih dan beberapa butir obat membuat nya berdecak.

"Abangggg!!" Panggil Friska setengah berteriak, namun Rezvan tak menyahut panggilannya membuatnya seketika mengernyit bingung. Tak seperti biasanya.

Ia pun mendial nomor sang kakak, satu panggilan tidak terjawab, ia menelponnya lagi. Hingga panggilannya yang ketiga sama saja tidak dijawab membuatnya sontak kesal, ia langsung melempar asal handphonenya membuat suara pecahannya seketika terdengar.

"Bajingan! Gue sakit gini nggak ada yang peduli!" Rutuknya dengan kesal.

Ia menyingkap selimutnya, lantas dengan penuh hati-hati ia menarik (?) kakinya agar menapak pada lantai, ia mengambil tongkat yang ada dibelakang nakas, lalu dengan pelan ia pun berdiri.

"Shh" Ringisnya menahan sakit, ia mengambil cairan infus yang menggantung di tiang lantas mulai berjalan dengan sangat pelan.

Friska membuka pintu kamarnya, ia keluar lalu menatap anak tangga dengan tatapan kesal.

"Ini kenapa juga kamar gue ada di lantai dua!" Emosinya keluar. Namun sebuah ide jahat terlintas dikepalanya membuatnya menyeringai tipis.

"Apa gue nggelinding aja ya? Kan bisa mati tuh, buktinya Friska jatuh dari tangga langsung mati" Gumamnya berpikiran licik, tiga detik selanjutnya ia menggelengkan kepalanya.

"Nggak! Gue nggak mau bunuh diri" Lanjutnya kemudian. Ia menghela napasnya panjang, lalu.

"WOI INI NGGAK ADA YANG MAU BANTUIN GUE APA?!!!" Teriaknya sekuat tenaga. Tak lama sebuah pintu kamar yang ada di ujung lantai dua terbuka, Friska menatapnya, seketika ia memutar bola matanya malas kala menangkap Kenzo yang memakai seragam lengkap dengan sebuah buku ditangan cowok itu tengah berjalan kearahnya.

"Brisik banget sih lo" Ucap Kenzo ketus.

"Komen aja lo" Balas Friska sengit. Kenzo memandang penampilan gadis didepannya ini, dengan baju tidur yang kusut, rambut berantakan dan wajah yang sedikit pucat membuat Friska terlihat sama seperti gembel.

"Lo udah makan?" Tanya Kenzo setelah membuang pikirannya jauh-jauh. Friska memandang nya dengan kening berkerut, tak seperti Kenzo yang ia kenal.

"Bang Rezvan mana?" Tanya Friska tanpa menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Kenzo. Cowok itu berdecak kesal kala pertanyaannya diabaikan.

"Kerja lah! Emang kek lo tukang bolos" Balasnya sengit. Friska langsung menatap nya kesal. Ah andai saja seluruh tubuhnya tidak luka ia pasti akan mendorong Kenzo agar jatuh dan menggelinding ke bawah. Dirinya sudah sangat geram saat ini.

"Ngaca bangsat" Umpat Friska tak bisa menahan emosi, dirinya ini sedang lapar, tapi memang kakaknya yang satu ini minus akhlak membuatnya naik pitam.

"Heh ngapain lo?!" Sentak Friska refleks saat tiba-tiba saja tangan Kenzo memegang bahunya, cowok itu juga menunduk membuatnya terkejut bukan main.

Geya to Friska | TransmigrasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang