Di tengah keramaian pasar Tradisional, seorang remaja laki-laki berjalan tergesa-gesa. Peluh keringat membasahi kaus yang ia pakai. Sesekali tangan gembul itu mengelap butiran keringat yang mentes deras di dahi.
Deru napas memburu, menghampiri seorang wanita separuh baya yang sedang sibuk mencatat sesuatu dibuku nota.
"Huh ... maaf Buk, tadi saya bangun kesiangan jadi terlambat." Dia mengatur napas yang ngos-ngosan seraya menekuk kedua lutut. Kaki terasa gemetar setelah berlarian.
Wanita memakai stelan kemeja biru navy, dan rok span hitam menatap dia sinis.
"Ya sudah, sana kerja! Ngapain masih berdiri di sini?" tanya sang wanita kelewat judes sambil mengulung baju kemeja sampai batas siku.
"Sana, sana, sepet saya lihat mukamu!" Ia mengibaskan tangan dengan tatapan jijik.
Sang pemuda menganguk patuh. Melangkah ke arah mobil truk pengangkut beras. Memangul karung beras 10kilogram, menuju toko sembako yang tidak jauh.
Terik matahari yang menyengat kulit tidak dihiraukan, ia tetap bekerja. Tubuhnya terlihat gelam, hitam legam di bawah panas.
Disaat remaja lain, menikmati masa remaja mereka. Bermain ke sana ke mari, bersekolah, bahkan berpacaran. Dia sudah disibukan dengan bekerja. Padahal seharusnya, dia menikmati masa remaja.
Dia bekerja sebagai kuli harian, di pasar Tradisional ini. Gaji yang ia dapat digunakan untuk makan sehari-hari, merawat sang ibu yang kini mengalami sakit struk.
Jurang kemiskinan yang teramat dalam, membuat ia lupa akan kesenangan. Yang dipikirkan hanya 'besok mau makan apa? Bagaimana cara agar dapat uang banyak, untuk biaya berobat ibu?'
"Huh ... hari ini capek banget," keluhnya.
Pukul dua belas siang, barulah ia berhenti bekerja. Istirahat sejenak untuk melepas penat.
"Sandi, sini makan dulu!" seru seorang pria memangilnya.
Dia melepas kaus oblong hitam karna gerah. Menaruh di pundak sebelah kiri. Kemudian ikut berkumpul dengan kuli yang lain, duduk di lesehan toko sembako.
"Emm, nih makan dulu, buat ngisi tenaga." Pria berambut hitam beruban, dan kulit sawo matang menyodorkan piring yang sudah berisi nasi, lengkap beserta lauk.
"Widih, sate ayam. Makasih, Pak Dani!" ucap sang pemuda tampak senang.
Rezeki siang ini sungguh nikmat.
"Sandi, jangan lupa, ya. Hari ini kita disuruh ke Pabrik sama Buk Bos," ujar Pak Dani mengingatkan sambil mengambil kerupuk dalam toples.
Remaja laki-laki, yang dipanggil Sandi itu hanya menganguk pelan. Selama empat tahun ia bekerja. Susah senang dirasakan sendiri. Rela membating tulang hanya demi Ibu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Boy
Teen FictionSingkat saja, hanya impian kecil seorang remaja laki-laki yang berusaha merubah hidupnya diabang kehancuran mental. Entah sampai kapan, dia mampu bertahan. "Mau tahu, kenapa gue benci sama lo? Karna muka lo itu menjijikan sialan!" Satu tamparan men...