Part 4

20 4 2
                                    

Cuaca pagi kali ini terlihat tidak bersahabat. Mendung menutupi langit dengan rata. Ditambah angin yang berhembus kencang, membuat sebagian orang takut beraktifitas di luar rumah.

Sandi menatap langit yang tampak gelap, dari balik jendela kayu. Pandangannya beralih menatap Ibu yang masih tertidur pulas, mendengkur halus.

Sandi mengigit bibir bawah cemas. "Kok, tiba-tiba perasaanku nggak enak, ya?"

Entah kenapa, saat ini ada keraguan dalam hati Sandi untuk pergi bekerja.

"Ibuk ..." Sandi menepuk dua kali pipi tirus ibunya. Wanita itu mengerjapkan mata perlahan, lalu berdehem sebagai jawaban.

"Aku berangkat kerja dulu ya, Buk," pamit Sandi.

Jika hari ini tidak bekerja, mau makan apa? Uang tabungan bulan lalu sudah dirampas paksa oleh Ayah.

Ibu menganguk lemah, bibir bergumam, "Hati-hati." Tanpa suara.

Sandi menyalimi tangan Ibu sebelum beranjak ke luar rumah untuk pergi bekerja.

Angin berhembus semakin kencang, diiringi rintik hujan yang mulai berjatuhan.

Membasahi pemukiman rumah-rumah kumuh di gang sempit itu.

Lama kelamaan, hujan turun deras. Gemericik air menerpa permukaan genting kasar, menimbulkan bunyi nyaring.

Air menteres menembus masuk ke dalam  lantai rumah, lewat atab yang berlubang.
Lantai semen yang sudah rusak itu, sekarang sudah banjir karna air hujan.

Seorang wanita meringkuk di atas ranjang sendirian. Tubuh mengigil ketakuan mendengar suara gerumuh petir yang menggelegar.

Dalam diam berdoa, semoga anaknya baik-baik saja di luar sana. Jantung berdegup kencang, saar suara petir menyambar semakin keras.

Satu dahan ranting pohon patah, karna tersabar petir.

"Tolong lindungi anakku." Wanita itu berdo'a dalam hati.

Kedua tangan menengadah ke atas. Mata ikut terpejam. Keringat dingin mulai bercucuran membasahi tubuh.

Sekilat cahaya menyambar sebatang pohon mangga, batangnya ambruk menimpa sebuah atab rumah.

Si wanita masih berdoa. Namun sayang, alam tidak menghiraukan. Napas tercekat di tenggorokan, saat merasakan benda berat menimpa tubuh kurusnya.

Jantung seakan berhenti berdetak. Tubuh seperti ditusuk beribu belati, membuat ia mengerang kesakitan.

Tidak lama kemudian tubuhnya terasa mati rasa. Sebelum mata indah itu terpejam, ia teringat sang putri kecil dulu.

"Ibu datang, sayang. Sekarang kita akan pergi bersama. Sandi, maafkan Ibu yang belum bisa membahagiakanmu, Nak. Tetap lah berjuang untuk masa depanmu." Dia bergumam tanpa suara menatap ke atas dengan mata berbinar.

Matanya terpejam sempurna, seutas seyuman manis terukir indah di bibir pucat. Menghebuskan napas terakhir seorang diri, ditemani oleh hujan.






The Perfect Boy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang