Australia, salah satu Negara yang bekerja sama dengan Indonesia dalam bidang pendidkan.
Berkat kecerdasannya, Sandi dapat masuk ke Universitas di Australia melalui jalur beasiswa. Jauh dari kampung halaman, demi menempuh pendidikan.
Semua biaya kuliah ditanggung oleh Pemerintah. Tidak lupa juga, satu unit aperteman sebagai tempat tinggal selama ia menjadi mahasiswa di sana.
Hari minggu kali ini, pemuda itu melakukan joging lebih awal. Ia berhenti sejenak di taman pinggir jalan. Penduduk di sini pun ramah, membuat Sandi nyaman.
"Huh, capek juga, ya. Padahal baru setengah jalan." Sandi menekuk kedua lutut yang terasa kebas. Setelah mendingan, ia kembali berlari tujuannya adalah ke tempat GMY.
Tidak terasa, sudah hampir lima tahun Sandi berada di Australia.
Sandi seperti merasakan hidup yang sesunguhnya. Teman kampus tidak membedakan dari segi fisik, ras atau bahkan agama. Dan juga banyak perubahan dalam diri Sandi.
"Apa kamu tidak mau minum dulu, Man?" tanya seorang pria berambut pirang. Kulit putih kemerahan, serta bola mata berwarna hijau terang. Dia menyodorkan satu gelas air dingin pada Sandi.
Sandi menoleh sekilas, lalu kembali melanjutkan pukulan terakhir pada samsak. Setelah itu melapas sarung tinju.
"Thank you, Wil," ucap Sandi setelah menerima minuman tersebut.
Tubuh Sandi yang banjir keringat menambah kesan maskulin.
"Sama-sama." Wilian, seorang pria blesteran Jerman-Rusia merupakan teman seperjuangan Sandi selama menjadi mahasiswa di Australia.
Usia mereka terpaut hanya beberapa bulan. Wilian fasih berbahasa Indonesia, meski terdengar begitu kaku dan baku.
"Apa kamu tidak ingin pulang ke Indonesia, untuk liburan tahun ini?" tanya Wilian lagi.
"Buat apa?" Sandi malah balik bertanya membuat Wilian sedikit bingung.
Wilian mengangkat bahu acuh. "Kamu tidak mau bertemu dengan teman lama, atau keluargamu mungkin?"
Sejak mengenal Sandi, tidak pernah sedikit pun pria asal Indonesia itu bercerita mengenai keluarga, atau pun teman semasa sekolah.
Wilian saja sedikit rindu dengan keluarga yang ada di Rusia.
"Aku yakin. Keluargamu juga pasti akan rindu!" ucap Wilian penuh semangat, membuat Sandi menatap datar.
"Aku nggak punya keluarga, atau pun teman di sana. Jadi jangan bahas soal itu lagi." Nada bicara Sandi menjadi dingin.
Seketika Wilian meringis kecil. "Maaf, aku tidak bermaksut membuatmu marah."
Suara dering ponsel mengalihkan obrolan mereka. Sandi mengambil ponselnya di atas meja. Kening berkerut saat melihat pesan masuk pada Aplikasi Instagram.
Grup sekolah SMA-nya dulu.
User: "Jangan lupa, ya teman-teman. Satu minggu lagi kita reunian, angkatan 5 tahun yang lalu, loh."
"Pada dateng nggak, nih?"
"Kalau gue jelas dateng, lah."
"Gue nggak bisa dateng. Anak gue rewelnya minta ampun."
"Buset udah punya anak aja lu, gue malah masih ngurus skripsi!"
"Heh, guys. Ngomong- ngomong si gendut sekarang gimana, ya?"
"Lo nanyak? mana gue tahu. Orang udah gue left-in dari nih, grup."
"Katanya, sih, dulu mau kuliah di Australia. Paling juga jadi babu di sana, wkwk."
"Gue jadi kangen deh, pengen dugem sama dia."
"Dia nggak usah diajak. Gue mau nyewa fg, buat post di ig. Ntar malu-maluin angkatan kita aja."
"Gue juga kangen lecehin dia, hahaha."
"St, diem. Nggak usah bahas sampah!"
Rahang Sandi mengeras membaca pesan tersebut. Mereka tidak tahu kalau selama ini, Sandi memantau dari jauh. Ia memakai akun fake supaya identitasnya tidak diketahui oleh mereka.
"Damn it!" umpat Sandi sembari membanting gelas, sampai Wilian berjingit kaget. Pecahan kaca berserakan di lantai.
"Hey, man are you okay?" Meski pun takut, tetapi Wilian mencoba bertanya.
Sandi mengeleng, wajah tampak merah padam menahan emosi. "Wil, liburan tahun ini bisa ikut aku pulang dulu ke Indonesia?"
"Aku cuman mau berkunjung ke makam Ibu. Kamu tenang aja, selama di sana kebutuhanmu aku yang tanggung. Satu minggu aja Wil, bisa 'kan? I'm please ..." Sandi menatap Wilian penuh harap.
Senyuman di bibir Sandi mengambang, saat Wilian mengangukan kepala tanda setuju.
Lihat saja, apa yang akan Sandi lakukan pada para pembulyng itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Boy
Teen FictionSingkat saja, hanya impian kecil seorang remaja laki-laki yang berusaha merubah hidupnya diabang kehancuran mental. Entah sampai kapan, dia mampu bertahan. "Mau tahu, kenapa gue benci sama lo? Karna muka lo itu menjijikan sialan!" Satu tamparan men...