Part 11

12 3 0
                                    

Rintik hujan mulai berjatuhan. Membasahi tanah kuburan, yang terlihat tandus itu.

Seorang laki-laki mengelus batu nisan yang bertuliskan nama sang ibu. Hanya Sandi sendiri yang ada di sana. Air matanya disamarkan oleh hujan.

"Ibu apa kabar di sana? Kapan Buk, aku merasakan keadilan? Semesta jahat Buk, jahat banget sama aku. Aku dikelilingi manusia yang nggak punya simpati. Memperlakukan aku seperti binatang, sampah, seolah aku ini bakteri yang menjijikkan. Aku capek, Buk."  Sandi menutup mata, merasakan sesak luar biasa di dalam dada.

"Buk, aku cuman takut berhenti berjuang di tengah jalan. Karna aku sendirian, nggak ada yang peduli," kata Sandi dengan suara serak.

"Ibu tahu? Anak laki-laki yang terlihat baik- baik aja ini. Menyimpan lukanya sendiiri, Buk." Suara Sandi nyaris hilang.

Ia menangis, sambil meremas tanah kuburan yang basah, sampai jari tangan kotor dan kulit terasa perih.

Bohong jika ia mengatakan baik-baik saja. Begitu banyak luka batin yang disimpan sendirian. Tidak ada rumah untuk bercerita. Tidak ada orang yang mau mendengarkan keluh kesah Sandi. Ia seorang sebatang kara di dunia ini.

"Kamu anak yang kuat. Kamu bisa melewati semua ini sendirian. Kamu boleh istirahat saat lelah, tapi jangan menyerah."

Entah hanya sebuah ilusi semata atau memang nyata, Sandi dapat mendengar suara sang ibu.

Sandi tersentak kaget. Menatap seseorang yang berdiri tidak jauh darinya. Hanya terhalang beberapa batu nisan saja.

Seorang wanita paruh baya, terbalut gamis, berjilbab putih yang terseyum pada Sandi.

"Ibu ..." Napas Sandi tercekat, wanita itu mengangguk samar. Meski dihalangi rintik hujan, ia dapat melihat dengan jelas wajah sang ibu.

"Ibu! Sandi kangen Ibu, jangan pergi!" Sandi berusaha mengejar, tidak peduli dengan tanah basah yang licin. Bisa saja membuat ia terjatuh.

Namun, wanita tersebut bagaikan cahaya, tiba-tiba saja menghilang dari pandangan mata. Kaki Sandi langsung lemas, kepala menunduk dalam.

Di bawah guyuran air hujan, ia menangis sendirian. Tangisnya pilu, memecah keheningan tempat pemakaman.





The Perfect Boy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang