Setelah sampai di Bandara, Sandi langsung mengajak Wilian ke hotel untuk melepas lelah. Mereka memesan satu kamar. Wilian mandi, sedangkan Sandi masih menata baju. Pemuda itu sibuk memilih baju yang cocok untuk pergi ke makam Ibu besok.
Pilihan Sandi jatuh pada kemeja hitam berlengan panjang, dan celana jeans yang senada. Sebenarnya, Sandi ingin memakai sarung. Tetapi ia pikir memakai celana lebih simple.
"Sandi, aku lapar. Cacing dalam perutku sudah minta makan," tutur Wilian setelah ke luar dari kamar mandi.
Dia sudah memakai baju. Stelan kaus putih juga celana hitam selutut. Rambut pirangnya terlihat basah.
Sandi mengendus geli. Wilian mendekat lalu tanpa permisi membuka baju Sandi. Menampilan perut sixpack delapan kotak.
"Aku heran sama perutmu. Kenapa bisa delapan kotak? Padahal jam olahraga kita sama 'kan?" tanya Wilian kemudian meraba perut sendiri yang hanya ada empat kotak. Empat lainnya hilang menjadi lemak.
"Kamu terlalu banyak makan makanan manis Wil," kata Sandi sambil menjauhkan tangan Wilian. "kita vegetarian aja. Selama satu minggu di sini. Kita makan sayur dan buah, tanpa coklat."
Sontak Wilian menatap melas. Ia
mengeleng ribut, kurang setuju dengan ucapan Sandi. Dia ini maniak coklat. Satu hari bisa menghabiskan tiga batang coklat."Kamu mau menyiksaku, ya?" tuduhnya mendramasir membuat Sandi tertawa.
Di caffe, dua orang laki-laki duduk berhadapan. Dari jauh, mereka terlihat sedang berdebat. Tentu saja, hal tersebut tidak lepas dari sepasang mata pengunjung lain.
Satu pria bule yang terlihat cute boy, dan yang satu lagi tampak cool boy.
"Aku tidak mau. Pokoknya aku mau minuman coklat!" tolak Wilian mutlak.
Sandi menghela napas, lelah sendiri berdebat dengan si maniak coklat ini.
"It's okay, no problem. Terserah kamu aja. Tapi jangan nangis kalau perutmu jadi lebih buncit," gurau Sandi mencairkan suasana yang sedikit membuat ia kesal.
Wilian hanya mengangguk lucu, seraya terseyum puas.
"Payah, payah." Sandi mengelengkan kepala pelan tidak habis pikir.
Pesanan mereka datang. Sandi hanya memakan salad buah. Sedangkan Wilian memasan banyak makanan. Tentu ada secangkir minuman coklat.
Saat sedang asyik menikmati makanan seseorang datang menganggu mereka berdua.
"Permisi, boleh aku duduk di sini?"
Seketika Wilian bersama Sandi menoleh ke arah sumber suara. Seorang wanita lumayan cantik. Sandi memalingkan wajah, ketika melihat pakaian wanita itu yang terlalu terbuka.
"Oh, iya. Silahkan Nona." Nada bicara Wilian terdengar sangat kaku.
Si wanita hanya terseyum malu, kemudian duduk di samping Sandi.
"Maaf ya, kalau mengangu. Caffe udah penuh. Terus aku lihat cuma di sini yang masih kosong," ucap si wanita dengan suara manja yang dibuat-buat.
Wilian hanya menganguk. Dia malas menangapi wanita seperti ini. Mendingan makan, biar kuat menghadapi kenyataan.
Sandi mengeser duduk, merasa tidak nyaman berdekatan dengan wanita tersebut. Apa lagi saat tangan si wanita yang lancang mengelus paha Sandi dari bawah meja. Tatapan nan seyuman nakal itu membuat ia jengkel.
Ponsel Wilian bergetar, ia mengerutkan kening saat melihat sebuah pesan masuk dari Sandi, melalui Aplikasi WhasAap. Kenapa tidak berbicara langsung? Padahal mereka dekat, berhadapan pula.
Dengan gerakan santai, Wilian membaca pesan, sambil menyeruput secangkir minuman coklat.
("Ayo pulang. Aku nggak mau duduk sama pelacur.")
Wilian tersendak minuman. Buru-buru ia mengambil selembar tissu. Nyali Wilian langsung menciut, saat menatap raut wajah Sandi.
"Eh, aduh hati-hati dong, minumnya."
Muak, Sandi ingin muntah mendengarnya.
Sandi menjauhkan tangan si wanita yang ikut mengelap bibir Wilian memakai tissu.
Merasa tidak suka, melihat perlakuan yang terkesan lancang dan murahan.
"Jangan sentuh. Dia udah punya tunangan!" kata Sandi mendadak ketus. Kemudian menarik lengan Wilian, membawa pergi ke luar dari caffe.
Mata Wilian berkaca-kaca, sambil mengangkat satu tangan hendak meraih minuman ia berkata, "Oh, tidak coklatku belum habis, San!"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Boy
Teen FictionSingkat saja, hanya impian kecil seorang remaja laki-laki yang berusaha merubah hidupnya diabang kehancuran mental. Entah sampai kapan, dia mampu bertahan. "Mau tahu, kenapa gue benci sama lo? Karna muka lo itu menjijikan sialan!" Satu tamparan men...