18.

15 1 0
                                    

Seorang pria tua mengelus batu nisan, bertuliskan nama istrinya.

Suara tangis terdengar begitu pilu, penuh rasa penyesalan. Ia menyesal, sangat menyesal tidak menjadi kepala keluarga yang baik.

"Maaf, aku gagal menjadi Ayah," gumamnya seraya mengapus jejak air mata kasar dengan pungung tangan.

Wajah menjadi kotor terkena tanah. Rambut gondrong sepundak yang selalu di kucir ke belakang, berwarna hitam sekarang telah memutih termakan usia.

Tatto bergambar naga masih ada di lengan meski kulit sudah keriput.

Ia kembali terisak, sambil mengelus batu nisan seraya berujar, "Kalau waktu bisa diulang kembali. Aku mau menebus kesalahanku di masa lalu."

Suara benda yang terjatuh dari arah belakang, membuat ia menoleh. Terlihat sosok pemuda bertubuh tinggi tegap, menatap berkaca-kaca.

"Ayah?" Suara Sandi terdengar parau, bibir bergetar seolah tidak sangup lagi untuk mengeluarkan satu patah kata.

Sedangkan pria tua yang dipanggil Ayah, mendadak bungkam. Wajah terlihat sedikit bingung. Ia tidak mengenali siapa pemuda ini.

Sandi mendekat, lalu tiba-tiba memeluk tubuh si pria tua begitu erat sambil berbisik, "Aku Sandi, anak Ayah. Ayah ke mana selama ini? Aku khawatir sama Ayah."

Seketika tubuh Bram menegang, untuk beberapa hanya diam. Jantung berdegup kencang, dengan tatapan mata berkaca-kaca.

Bram melepaskan pelukan, menatap lekat pemuda di hadapannya. Bibir terasa bergetar akan menyebutkan satu nama. "Sandi ..."

Sandi menganguk, terseyum tulus kembali memeluk sang ayah. Tidak bisa dielak lagi, jika ia begitu merindukan sosok orang tua ini.

Meski perlakuan Ayah buruk, yang selalu meminta uang hanya untuk berjudi. Tidak perduli dengan keluarga. Namun Sandi begitu sayang pada Ayah.

Do'a yang selama ini ia minta pada akhirnya terkabul juga, didengar oleh Sang Pencinpta.

"Sandi, maafkan Ayah." Bram tetiba mengengam kedua tangan pemuda tersebut, seraya menangis pilu. "Ayah gagal jadi orang tua. Ayah gagal jagain kamu. Ayah nggak pantes dapat gelar sebagai pahlawan di hidup kamu. Maafkan Ayah ..."

Sandi mengusap pundak sang ayah, mata menatap penuh rasa iba melihat keadaan orang tua itu yang seperti ini. Tubuh menjadi kurus, tinggal tulang terbalut kulit keriput.

"Kata maaf nggak berlaku lagi bagiku, Yah," tutur Sandi kemudian membuat sang ayah terkejut.

Apa berarti ia tidak akan mendapatkan maaf dari putranya? Apa Sandi membencinya? Tiba-tiba sekejap ingatan masa lalu terbayang. Kejahatan yang pernah diperbuat.

Bibir Bram menjadi kelu. Jika kata maaf saja tidak cukup, lalu apa yang harus ia lakukan?

"Ayah mau dapat maaf dariku?" tanya Sandi. Sang ayah langsung menganguk.

"Kalau gitu, tinggal sama aku. Kita mulai hidup yang baru. Meski pun tanda Ibu atau Adek lagi. Mau, ya?" Sandi mengusap pelan pundak Ayah yang mulai ringkih lalu didekap erat.

"Aku tetap sayang Ayah. Meski kalau inget kelakuan Ayah dimasa lalu, tetep sakit hati. Tapi mau gimana pun, Ayah tetap orang tuaku," ungkap Sandi menbuat Bram meneteskan air mata.

"Jangan pergi dulu, aku udah cukup kehilangan mereka. Tolong temani aku sampai sukses nanti, Ayah," bisik Sandi dengan suara parau.


Tamat.



Terima kasih karna telah membaca cerita ini dari awal sampai akhir. Silahkan berikan kritik dan saran jika ada kesalahan. 



The Perfect Boy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang