Part 7

15 2 0
                                    

Sepertinya, mengambil kerja sampingan saat sekolah bukan pilihan yang tepat. Apa lagi sampai pulang larut malam.

Belum lagi harus belajar, tentu sangat melelahkan. Itulah yang dirasakan Sandi saat ini.

Setelah pulang dari sekolah, pemuda itu langsung bekerja. Menjadi office boy di Caffe. Sekarang dia memilih melanjutkan pendidikan yang sempat terputus dari pada menjadi buruh kasar di pasar.

Jam sudah menujukan pukul dua belas malam. Namun Sandi masih saja bekerja. Mencuci piring yang lumayan banyak, setelah mengepel lantai tadi.

"Heh, gendut! Cepetan lemot banget, sih!" umpat seorang wanita.

"Sabar, ya. Aku udah berusaha cepet." Sandi bahkan tetap terseyum meski wajah tampak lelah.

"Dih, nggak usah senyum gitu lo. Jijik gue lihatnya!" ketus si wanita, lalu meninggalkan Sandi sendiri.

Mendengar kalimat menyakitkan senyuman di bibir Sandi perlahan luntur, berganti gurat kesedihan.

Sandi menghela napas lelah. "Sabar jangan dibawa perasaan. Semua orang nggak ada yang sempurna. Mendingan fokus kerja, biar cepet pulang.

Jam beker berdering nyaring. Tetapi si pemilik masih tertidur lelap. Tidak lama, suara adzan subuh berkumandang saling bersahut-sahutan.

Sandi mengeligat, lalu menguap. Mata mengerjam perlahan. Ia duduk sebentar sembari merengangkan tubuh yang terasa pegal semua. Setelah dirasa mendingan, barulah berjalan ke arah kamar mandi.

"Asalamu'alaikum warahmahi wabarakatuh. Asalamu'alaikum warahmahi wabarakatuh." Usai mengucapkan salam, kedua tangan Sandi menengadah, berdoa kepada Sang Pencipta.

"Ya Alllah, tolong kuatkan jiwaku. Bantu aku menghadapi semua dengan ikhlas. Jika berat karna dosaku, setidaknya kabulkanlah demi ibuku. Aamin," ujarnya lalu mengusap wajah dengan telapak tangan.

Sandi kembali bersujud, menangis di atas sajadah. Suara tangis terdengar begitu pelan.

"Aku capek, Buk. Aku capek harus menjalani hidup sendirian. Aku kangen dipeluk Ibu, kangen nyuapin Ibu makan, peluk aku dari jauh, Buk." Suara tangis  Sandi pecah sambil meremas sajadah sampai jari tangan terasa perih.

Sandi menghela napas lelah, ia melipat sajadah. Kemudian meraih kitab suci Al-Qur'an, yang ada di atas meja belajar, dikecup penuh takzim sebelum membacanya.

Suara Sandi mengalun merdu, meski bibir bergetar. Sampai sang fajar menujukan diri, baru lah Sandi berhenti.

Sandi menatap cermin. Saat ini sudah rapih dengan seragam putih abu-abu yang dulu. Walau pun lama tidak terpakai, baju itu masih terlihat baru.

Sandi menarik napas dalam, lalu menghembuskan secara perlahan.

"Semangat, ya. Katanya mau bahagiain Ibu. Masa gini doang udah nyerah? semangat, dong. Aku pasti bisa!" kata Sandi sembari mengepalkan tangan ke udara.

Namun suara Sandi terdengar bergetar hebat bahkan mata ikut memanas.

Sandi ke luar dari indikos, berjalan ke halte bus khusus untuk anak sekolah. Tatapan jijik dan tidak suka, dapat ia rasakan dari orang-orang sekitar ketika Sandi masuk ke dalam bus.

Dengan langkah pelan, Sandi duduk di salah satu kursi kosong penumpang sendirian.

Pemuda bertubuh gembuk itu membuka tas, mengambil buku dan membaca. Sekedar mengalihkan bisikan penuh kebencian dari orang sekitar.

The Perfect Boy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang