Sudah lima bulan berlalu, hari-hari berjalan seperti biasa. Namun rasanya, suasana kali ini tampak berbeda. Masih seperti kebiasaan dipagi hari sebelumnya. Sandi memasak untuk sarapan.
Ia sibuk berkutat dengan alat dapur. Sandi tidak lagi berasa di rumah yang dulu. Sekarang memilih tinggal sendiri di indikos dekat pasar. Sejak Ibu pergi, Ayah tidak lagi menampakan diri.
Aroma masakan tercium mengugah selera. Sandi segera menuangkan nasi goreng ke dalam piring.
Awalnya, Sandi mekimati makanan tersebut. Tetapi tidak berlangsung lama saat satu butir air mata menetes, dari mata sebelah kiri.
Kenangan kelam tetiba saja melintas samar. Bagaikan kaset rusak. Ratapan pilu yang menyuruh ibu untuk kembali.
Pahit sekali rasanya, harus kehilangan orang yang disayangi. Mental dihancurkan, jiwa dibantai habis-habisan. Batin ditekan untuk selalu kuat, menghadapi kenyataan.
Sejahat itukah semesta?
"Bahagiaku diepisode berapa, Tuhan?" Sandi menghapus jejak air mata kasar. Kemudian mencuci bekas piring di wastafel, sudah tidak nafsu lagi untuk makan.
Sandi harus bisa bertahan. Harus bisa menjalani semua ini sendirian. Ayo, jangan buat Ibu sedih di sana. Sandi anak laki-laki yang kuat. Ini semua demi Ibu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Boy
Teen FictionSingkat saja, hanya impian kecil seorang remaja laki-laki yang berusaha merubah hidupnya diabang kehancuran mental. Entah sampai kapan, dia mampu bertahan. "Mau tahu, kenapa gue benci sama lo? Karna muka lo itu menjijikan sialan!" Satu tamparan men...