Jakarta, 1 Februari 2010
Beberapa waktu lalu, temanku di penerbitan mengenalkanku pada seorang pria. Saudara sepupunya, seorang pengusaha mebel. Ia tinggi, kekar, dengan rahang yang kuat. Faktor penentu ketampanan dalam budaya Eropa dan Amerika. Hampir semua yang melihatnya pasti mengamini betapa tampannya pria itu. Tak hanya tampan, dompetnya juga tebal. Pertama kali aku melihatnya, ia memakai mobil Land Rover keluaran terbaru.
"Lovey, dia juga suka travelling. Pernah ke Afrika beberapa kali. jadi waktu dia baca buku lo, dia langsung jatuh cinta. Pengen punya istri yang punya hobi sama katanya. Biar nggak ada alasan mager kalau diajak jalan - jalan" Temanku Leslie bercerita dengan penuh semangat, sangat antusias.
"bagus deh kalau jatuh cinta" Jawabku. Sembari meminum americano yang sangat kental. Wangi dan enak.
Melihat reaksiku, Leslie memandang dengan geram. Alisnya yang digambar terlalu tebal menukik hebat. "Ih, lo lempeng banget sih. Dia tuh tertarik sama lo. Sampai bela belain pergi ke café ini tiap hari selama seminggu. Demi bisa lihat lo doang." Jelasnya dengan nada tinggi.
"Oh"
"Cuma oh? C'mon! Ayolah, gua kenalin. Mayan lo bisa dapat sokongan dana buat keliling dunia lagi" Leslie menunjuk - nunjuk heboh. Berkata tanpa tedeng aling - aling.
"Sorry Lie. Gue udah punya pacar"
"Aish, nggak percaya. Mana sini pacar lo. Bawa ke hadapan gue"
"Ada kok. Tapi dia sembunyi."
"Dimana?"
"Di sini" aku menunjuk kepala. Satu tempat dimana semua memoriku tersimpan rapi.
"Ah, cinta pertama lo itu ya. Kapan sih lo bisa move on? Gilak, baru kali ini gua ketemu orang yang bener bener setia kaya lo. Ngomong - ngomong, kapan sih terakhir lo ketemu dia?" Tanya Leslie.
Aku menyeruput kopi. Memfokuskan pandangan pada minuman hitam itu. Tak berani menatap wanita di hadapanku. Kuyakin jawabanku tidak akan membuatnya terkesan.
"14 tahun lalu," Hanya itu jawaban yang bisa kuberikan. Aktual, faktual, terpercaya.
"What? 14 tahun? The fucking 14 years!" Mata leslie memutar ke atas, mulai berhitung, "14 tahun lalu, berarti tahun 1996. Sekarang umur lo 31 tahun. Jadi terakhir lo ketemu dia waktu umur 17 tahun. Artinya, lo nggak tau gimana mukanya sekarang. Kali aja dia udah jadi bapak – bapak anak 3"
"Bener banget" Jawabku singkat. Tak mungkin aku menceritakan bagaimana aku melihat cinta pertamaku sebulan lalu di depan café ini. Fisiknya persis sama seperti 14 tahun lalu, saat terakhir aku melihatnya. Sama sekali tak menua. Tak menunjukkan perubahan.
"Kalau lihat lo sesetia ini, gua jadi penasaran. Apa sih yang buat lo nggak bisa lupain dia? Cinta? Bullshit, padahal yang mau sama lo tuh banyak. Ngantri malah"
Hmmm, pertanyaan Leslie membuatku berpikir. Hidup ini begitu rumit, terlebih masalah percintaan. Bagiku, cinta adalah konsep abstrak yang tidak bisa dijelaskan. Bukan hanya masalah suka dan tidak suka.Lebih dari itu, cinta adalah gabungan dari banyak variabel yang terlalu banyak untuk kita pahami. Meskipun, jika aku bisa memilih 1 variabel, maka aku akan memilih...
"Karena dia....ngajak gue"
"Kemana?"
"Cari peri"
Leslie terdiam sepersekian detik, lalu mulai menyantap spaghetti dingin di hadapannya. Cepat sekali, hingga hanya selesai pada dua hingga tingga suapan.
"Gue nggak akan bahas ini lagi sama lo. Percuma. Rasanya gue jadi ikutan sinting"
Leslie cemberut. Aku tertawa. Ia benar. Aku memang sudah kehilangan akal. 14 tahun bukanlah waktu yang singkat untuk melupakan seseorang. Dalam rentang waktu itu, aku berusaha membuat semua baik - baik saja. Pindah ke ibukota, kuliah, bekerja, jalan - jalan, membeli apartemen, dan melakukan banyak hal untuk tetap hidup.
Sayangnya, yang tidak kupahami, Allah menciptakan semua ingatanku abadi. Dalam garis waktuku, aku menciptakan kenangan tak terhingga yang tidak bisa kulupakan. Baik dan buruk. Berarti dan tidak berarti. Kenangan - kenangan berarti akan lebih menancap di hati dibanding yang tidak berarti. Dan sialnya, sebagian besar kenanganku yang berarti kuciptakan bersama manusia satu itu. Kenangan yang membentuk diriku saat ini.
Hanya dia dan kenangan - kenangan di bukit itu yang mengisi kekosongan hatiku. Mengenalkanku pada konsep hangatnya keluarga. Mengajakku menikmati masa kanak - kanak sebagaimana mestinya. Meskipun kutahu, beberapa kenangan terlalu menyakitkan untuk diingat dan ditulis. Karena kenangan bahagia sekalipun akan berubah menjadi kenangan sedih jika kita tahu semua tidak akan bisa diulang kembali.
Jadi, apabila serbuk peri itu ada, atau Allah sedang berbaik hati mengabulkan doa, maka pintaku hanya satu; andai waktu dapat diulang kembali.
Aku ingin terus berlari menyusuri bukit, mencari peri, bercanda di saung, juga bercerita tentang apapun hingga pagi. Bersamanya, tanpa pernah tumbuh dewasa. Di tempat itu. Di sudut rahasia kami.
"Kapten, aku kangen kamu"
Diam - diam kubisikkan kalimat itu dalam hati. Berharap entah bagaimana, Dia yang selama ini kurindukan mendengarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Dia, Hujan dan Kisah Lama
RomanceTahun 1990, dia adalah sahabatku. Tahun 1995, dia adalah cinta pertamaku. Tahun 1996, dia adalah petunjuk arahku. Tahun 2010, dia adalah kenangan paling menyakitkan sekaligus paling indah dalam hidupku. Iya, dia. Kisah ini untuknya. Manusia pal...