2010 - 1990 - Kisah Anak Laki - Laki itu

26 5 0
                                    


Aku sudah lama menyimpan kisah ini.  Jika kuanalogikan pikiranku sebagai garasi,  maka kisah ini adalah sepeda tua yang kusimpan dalam garasi tersebut. Sepeda yang sudah lapuk, aus dan karatan. Sepeda menyedihkan yang tiba - tiba sangat ingin kunaiki. Meski kutahu pada akhirnya akan jatuh dan terluka. 

Remang senja menembus jendela apartemenku. Temaram. Lampu belum menyala. Dari lantai 3 ini, suara aneka kendaraan bersahutan. Deru motor, mobil juga angkutan umum terdengar jelas. Terkadang diwarnai klakson yang berbunyi tiba - tiba. Juga suara tawa anak kecil dari balkon sebelah. Riuh, musik penutup hari yang sempurna.

Di hadapanku, laptop sudah menyala. Halaman pertama microsoft word terbuka. Kata demi kata kurangkai. Ditemani secangkir kopi panas, sudah kuputuskan hari ini aku akan mulai menulis. Sudah terlalu lama kisah ini terpendam. Tersembunyi dalam ribuan kisah lain. Kata orang, keabadian di bumi hanya akan tercipta dari jejak - jejak yang terekam. Maka, kalau kisah ini terpendam, ia hanya akan berakhir layaknya kisah lain. Hilang dan terlupakan.

Aku ingin menciptakan keabadian. Bukan ingin menyaingi Tuhan. Namun setidaknya dengan kutulis, maka orang - orang dalam kisah ini akan abadi. Bukankah manusia akan hidup selamanya dalam tulisan? Tulisan adalah rekam jejak dalam bentuk kata. Dalam tulisan, semua yang hidup akan semakin hidup. Dan semua yang telah pergi akan hidup kembali.

Dalam kisah ini, mungkin kalian akan bahagia. Mungkin juga kalian akan menangis. Ini bukan kisah manis bak negeri dongeng. Bukan kisah gelap tentang neraka. Bukan pula kisah penuh keajaiban bak pabrik coklat Willy Wonka. Ini hanyalah kisah tentang manusia dan jalannya. Tentang pertemuan, perpisahan, rindu, dan harapan.

Jam menunjukkan pukul 16.30. Ditemani lampu - lampu kota jakarta yang berpendar di sore hari, mari kita mulai perjalanan ini. Aku tak tahu apakah kisah ini akan sampai pada kalian atau hanya berakhir sebagai draft. Yang kutahu, aku harus bercerita.

Seperti kata Anaïs Nin, penulis asal Perancis yang terkenal dengan catatan kisah hidupnya:

"Kita menulis untuk merasakan hidup dua kali. Hidup di masa kini, dan juga di masa lalu"

.....

Jawa Tengah, 12 Juni 1990

Suasana bus di malam hari memang tidak ada duanya. Aroma AC yang bercampur dengan aroma tubuh yang tidak mandi berhari - hari, aroma parfum bebungaan ala malam satu suro, aroma durian yang sengaja disembunyikan, hingga aroma masakan basi berpadu menjadi satu. Menyebabkan bus yang penuh itu semakin terasa sesak.

Diantara puluhan penumpang, anak laki - laki yang duduk di barisan tengah itu nampak paling terpengaruh. Mual. Anak laki - laki berusia 11 tahun itu merasa perutnya terkocok. Wajahnya yang putih kemerahan terlihat pucat. Mulutnya terkunci, menahan rasa asam yang semakin lama semakin menjadi. Huh, ia tidak suka perjalanan dengan bus. Kalau bisa memilih, ia ingin sekali muntah. Tapi apa kata dunia jika ia muntah? Laki - laki sejati tidak akan muntah!

"Mah, mamah. Mas Juman nahan pup kayaknya" kata seorang gadis kecil berkulit sawo matang yang duduk di sampingnya. Melapor pada seorang wanita yang tengah duduk di kursi sebelah sembari menggendong bayi dan menjadi sandaran bagi anak perempuan berumur 2 tahun yang sedang tertidur.

"Mas mau pup?" Tanya wanita itu.

Juman menggeleng. Mulutnya terkunci. Haduh, jika ditanya ia akan semakin mual.

"Mas haus ya? Atau lapar?" Tanya wanita itu lagi.

Lagi - lagi Juman menggeleng.

"Terus mau apa mas? Wajahmu itu loh pucat sekali"

Juman menggeleng dengan sisa tenaga yang ia miliki. Ia menatap wajah mamanya dengan mata berkaca - kaca. Mulutnya bergetar, tangannya menggenggam, lambungnya yang sedari tadi bergulung bak badai di laut terasa seperti menghasilkan tsunami. Sedetik, dua detik, tiga detik, lalu....Byur! Keluar sudah perutnya!

Muntahan tercecer di lantai bus, terciprat pula di kursi. Bus yang penuh itu seketika berbau tak sedap. Lintang, si anak nomor 2 yang duduk di samping Juman seketika menangis. Bajunya terkena muntahan. Si bayi; Lumbung, nomor 4, yang ada di gendongan mama juga menangis karena terkejut. Bersamaan dengan bangunnya Bulan, si anak nomor 3.

Beberapa penumpang yang sadar akan bau muntahan seketika menutup hidung. Beberapa bahkan ikut muntah. Tak sempat menyiapkan kantong kresek. Suasana bus seketika ramai. Para penumpang banyak yang terbangun. Tangisan anak - anak bersahutan. Seperti efek domino, ketika satu anak menangis maka semua akan menangis. orkestra  yang sempurna.

Mendengar semua kegaduhan, Juman bergetar. Bajunya sudah basah dipenuhi muntahan. Pertahanannya runtuh. Air mata yang mati - matian ditahan pada akhirnya memaksa untuk keluar. Harga diri yang sedari tadi dijaganya hilang seketika.

Bersama saudara - saudaranya, juga anak - anak lain di bus itu, Juman akhirnya bergabung dengan "orkestra".

"MAMAAAAAA, MAAFIN MAAAASSS!" Tangis bocah itu tumpah. Air matanya mengalir deras.

Perjalanan Jakarta - Malang yang harusnya tenang seketika menjadi hectic.

.....

Jakarta, 10 Februari 1990

Namanya Jumantara. Sama seperti Dirgantara, artinya adalah langit. Entah mengapa kedua orang tuanya terinspirasi memberikan nama sepuitis itu. Ia adalah anak sulung dari 4 bersaudara. Adik keduanya, Lintang, masih berusia 8 tahun. Disusul Bulan, adik ketiganya yang berumur 2 tahun. Serta Lumbung, si pria kecil berumur 2 bulan.

Keempat anak itu tidak tahu menahu, bahwa perjalanan Jakarta - Malang yang saat ini sedang dijalani adalah bagian dari proses "melarikan diri". Mama mereka, Lastri, terpaksa membawa empat anak ini sejauh mungkin dari Jakarta. Menghindari "monster" yang terus mengejar tanpa henti.

Ayah mereka, Mr. Scheunemann, seorang pria berkebangsaan Jerman. Dahulu adalah seorang koki di salah satu hotel bintang 5 Jakarta. Pria baik dan murah senyum itu berusaha memberikan jaminan hidup bagi istri dan keempat anaknya. Bekerja dari pagi hingga pagi lagi adalah rutinitas sehari - hari. Sayangnya, pekerjaannya sebagai koki tak menjamin ia memiliki pola hidup sehat. Hingga di usianya yang baru 40 tahun, ia harus terkena diabetes dan menjalani sisa hidup di ranjang dengan ulkus dekubitus.

"Papa, kenapa papa tidur saja setiap hari?" Tanya Juman. Anak kecil itu naik ke ranjang Papa, turut tidur di sampingnya.

Ranjang itu berderit. Berbeda dengan ranjang yang mereka miliki saat dulu Papa masih sehat. Dulu, rumah mereka yang berada di Kebayoran Lama sangat bagus. Ukurannya besar, disertai taman yang luas dan 4 kamar. Berbeda dengan rumah mereka sekarang yang hanya berukuran sepetak dengan ranjang reyot dan tembok mengelupas.

"Sayang, papa hanya capek" jawab Papa lemah.

"Bohong. Capek kok setiap hari" jawab Juman sewot.

Juman pasti sadar perubahan besar dalam hidup mereka. Papa yang dulu bekerja, kini tergolek lemah. Tabungan dan asetnya habis untuk pengobatan tanpa hasil. Diperparah dengan kegagalan bisnis restoran yang membutuhkan modal tidak sedikit. Ekonomi mereka terpuruk. Mama terpaksa hidup dengan sisa tabungan yang tak seberapa. 

"Mas, nanti kalau papa sudah benar - benar capek. Papa akan tidur saaaangat lama. Saat papa tidur nanti, kamu harus jaga mama, Lintang, Bulan dan adik bayi di perut mama ya" kata papa lemah. Bibir Juman mengkerut. Ia tidak mengerti. Kenapa tidur saja papa harus berpamitan? 

"Siap Pa!" Hanya itu yang bisa ia ucapkan. 

"Papa harap, kamu cepat tumbuh dewasa" Itu adalah kata - kata terakhir Papa. Sebelum pagi harinya, ia benar - benar tertidur. Tidur yang tenang, tidur yang sangat lama. 

Dan bocah laki - laki bernama Jumantara itu cepat atau lambat harus sadar. Bahwa hidupnya tak akan pernah sama lagi. Sebuah janji tanpa sadar telah terucap. 

Tentang Dia, Hujan dan Kisah LamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang