Malang, 21 Januari 1995
"Nduk, carikan ibu data siswa kelas 12," Bu Darmi menunjuk kumpulan map di dalam lemari.
"Jumlahnya harus pas 50 ya!"
"Inggih bu" Lila berjalan dengan terseok - seok. Telapak kakinya masih sangat perih.
Bu Darmi, satu - satunya petugas TU di SMA Widyatama itu mengucek mata, menyeruput kopi, lalu mengucek mata lagi. Berkali - kali menguap. Sudah seminggu ini ia lembur. Mengerjakan pendataan peserta ujian dan merevisi beberapa laporan kegiatan yang hanya dibebankan padanya saja. Maklum, kepala sekolah sedikit rewel masalah administrasi.
"Pokoknya besok kalau udah besar kamu jangan jadi pegawai TU nduk. Apalagi di sekolah kecil kayak gini. Eman - eman. Apalagi kalau belum jadi PNS. Kerjanya banyak gajinya dikit"
Lila manggut - manggut. Masih sibuk memilah data siswa. Map di lemari itu terlalu banyak dan menumpuk.
"Wah, kalau mau jadi orang kaya berarti jangan jadi pegawai TU ya bu"
"Benar sekali! Pinter. Kalau mau niat kaya ya cari kerja lain. Kalau kaya ibu ini jatuhnya mengabdi. Syukur - syukur diangkat PNS"
Bu Darmi meregangkan tubuh. Tulang - tulangnya kaku.
"Beruntung kepala sekolah kita baik. Ibu kadang - kadang dibolehkan minta bantuan kamu. Sekolah yang bayarin. Ya, walaupun itungannya pekerja lepas. Bukan pegawai. Kalau ibu ngurusi semua sendiri ya modar! Bisa mati muda" Bu Darmi berkelakar. Tawanya melengking.
Lila turut tertawa. Sedikit getir. Dia juga tidak berniat menjadi pegawai TU. Sebagai siswa, pekerjaan ini hanya dilakukan demi uang tambahan. Apalagi kemarin Mas Lanang tidak memberi uang sepeserpun.
Ah, Mas Lanang. Apa sekarang mas baik - baik saja?
Di Luar, hujan tiba - tiba turun. Menimbulkan bunyi tik - tik seperti jutaan peluru ditembakkan dari langit. Lila merasa melayang. Tubuh dan pikirannya tidak sinkron. Sulit fokus. Ingatan tentang hari itu berputar cepat. Wajah kesal Mas Lanang, Pakdhe Jiwo yang mabuk, kakinya yang terluka, hutang keluarga Scheunemann, juga kabar bahwa Mama akan segera berangkat ke Arab Saudi untuk menjadi TKI. Semua ini terasa begitu cepat. Saling tumpang tindih.
"Bu, ini map-nya cuma ada 49! Seingat saya ada anak kelas 12 namanya Yudha Pratama. Nah, punya Mas Yudha nggak ada"
"Waduh, coba cari di dekat map anak kelas 11. Mungkin keselip"
Lila berusaha menyibukkan diri. Mencoba mengalihkan pikiran dengan terbenam di antara kumpulan data. Kenangan - kenangan buruk dan kegelisahan harus disembunyikan rapat - rapat. Kalau perlu digembok. Jangan sampai muncul ke permukaan.
"Ketemu!" Lila merapikan kumpulan map itu lalu menaruhnya di atas meja bu Darmi. Kakinya sekarang terasa semakin sakit. Ia melirik ke bawah. Darah merembes dari sela - sela handsaplast.
"Kakimu kenapa?" Bu Darmi menunjukkan raut khawatir.
Lila menggaruk kepala. Bingung harus mengarang cerita seperti apa. Yang jelas, harus logis! Karena soal bohong - berbohong, ia berada di peringkat terbawah.
"Hmmm, jadi gini bu, kemarin ada piring--"
"ASSALAMUALAIKUM! BU DARMI ADA PAKET!"
Lila menoleh. Suara yang sangat ia hafal muncul. Suara itu dalam dan terdengar menyenangkan. Si kiper, si kapten, Jumantara, apalah itu, muncul dari balik pintu. Membawa bungkusan plastik bermotif zebra. Nyengir seperti orang bodoh. Menggunakan seragam pramuka dibalut jaket jeans kumal pemberian tukang kebun sekolah. Rambutnya pendek dengan potongan kurang rapi. Hari ini ia terlihat cerah. Tidak suram seperti hari - hari sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Dia, Hujan dan Kisah Lama
RomanceTahun 1990, dia adalah sahabatku. Tahun 1995, dia adalah cinta pertamaku. Tahun 1996, dia adalah petunjuk arahku. Tahun 2010, dia adalah kenangan paling menyakitkan sekaligus paling indah dalam hidupku. Iya, dia. Kisah ini untuknya. Manusia pal...