Malam ini, Mama telah memutuskan. Kepergian harus dirayakan selayaknya kelahiran. Tidak boleh ada air mata. Tidak boleh ada keluh kesah. Semua harus bahagia.
Malam ini, mendung menggantung di langit. Tidak ada bintang, apalagi bulan. Langit gelap sempurna. Hanya api di halaman rumah yang berpendar dalam gelap. Menyala terang dengan lidah api berwarna oranye kekukingan. Menghangatkan hari yang dinginnya tak terkira. Menemani burung hantu yang ber-uhu ria.
Di sekeliling api itu 7 orang duduk melingkar. Membakar singkong pemberian Pak Rokim dan Bu Asih, tetangga yang baru pindah ke bukit besar 2 tahun lalu. Membangun rumah di lereng bukit, 100 meter di bawah puncak. Mereka termasuk orang - orang pertama yang tahu Mama akan berangkat ke Arab Saudi.
Dari Pak Rokim dan Bu Asih, berita menyebar cepat. Di desa kecil ini tiap keluarga saling terhubung. Pagi ini saja rumah Pakdhe Titus sudah ramai. Beberapa tetangga berkunjung, memberikan beberapa bekal berupa makanan kering. Ya, di desa ini, juga di kecamatan ini, bekerja sebagai TKI adalah hal lumrah. Keterbatasan pekerjaan dan rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan banyak ibu dan anak gadis pergi ke luar negeri. Siapa sih yang tidak mau gaji tinggi padahal hanya lulusan SD?
Kembali lagi pada kumpulan manusia di atas bukit itu. Pakdhe Titus tak banyak bicara. Sibuk membolak - balik singkong. Lintang memetik gitar, bernyanyi. Sedangkan Juman dan Lila memilih menjadi backing vocal. Bernyanyi dengan suara fals. Hampir semua nada sumbang. Meleset 70%. Mencemari suara Lintang yang merdu.
"Mas sama mbak mending nggak usah ikut nyanyi deh" Bulan merengut. Wajahnya bulat menggemaskan.
"Anak kecil memang tidak tau seni" Juman mengelus kepala gadis cilik itu. Menjambak pelan. Lalu lanjut bernyanyi. Merasa suaranya seindah Katon Bagaskara.
Di sisi lain, Mama hanya tersenyum. Memangku Lumbung yang tertidur. Entah apa yang ada di pikirannya. Dirinya sendiri, anak - anaknya, atau masa depan mereka. Tidak ada yang bisa menerka rumitnya pikiran seorang ibu. Apalagi jika menyangkut keluarga dan anak - anak.
Juman masih semangat bernyanyi. Kali ini ia tidak mau jadi backing vocal. Tapi penampil utama! Gitar Lintang direbut. Gitar tua yang Lintang dapatkan dari pasar loak. Hasil menabung selama 2 tahun.
"Jangan! Nanti Si Minnie suaranya jadi jelek kalau mas pegang!" Lintang meronta. Juman tidak peduli. Lanjut memetik senar asal - asalan. Menyanyi awur - awuran.
Lila melipir. Duduk di sebelah Mama. Mengunyah singkong yang baru saja matang. Suasana di bukit ini terasa sehangat api unggun. Berbeda dengan rumahnya yang terasa dingin. Malam ini, Pakdhe Jiwo pulang. Mabuk seperti biasa. Mendekam di kamar lalu mendengkur keras. Wajahnya terlihat seperti disengat tawon. Lebam luar biasa.
"Tadi sore mama sudah bilang anak - anak untuk saling jaga" Mama berbisik. Tersenyum hangat. Wajahnya yang cantik nampak kekuningan di dekat nyala api.
"Jumantara itu anak paling tua. Jelas dia yang paling bertanggung jawab, sayang. Dia pasti bisa melindungi adik - adiknya. Tapi, siapa yang akan melindungi dia? Mas Titus sakit - sakitan. Tidak seperti dulu" Senyum mama hilang. Tatapannya nanar.
Mulut Lila macet. Tak mampu menguyah maupun menelan. Singkong setengah halus itu berjejal. Membuat mulut Lila menggembung layaknya ikan koki. Menatap sedih ke arah Mama. Ia tahu arah pembicaraan ini.
"Mama mungkin tidak tahu diri. Tapi mama punya satu permintaan. Bisa kamu jaga anak Mama yang satu itu?" Mama kini menatap Juman yang masih bernyanyi dengan heboh.
"Meskipun terlihat lembut dan menyenangkan dari luar, sebenarnya dia keras dan kaku di dalam. Dia juga kurang perhitungan. Pikirannya terlalu sederhana. Jadi dia butuh orang yang bisa melunakkan hatinya. Juga menunjukkan arah kalau dia tiba - tiba tersesat"
Mama menyeka air matanya. Melanggar aturan yang ia buat sendiri; malam ini tidak boleh ada tangis. Tenggorakan Lila tercekat. Tidak bisa menelan. Mulutnya masih penuh dengan singkong. Menjaga? Dia bahkan tidak bisa menjaga dirinya sendiri. Selama ini, Juman yang menjaganya. Bukan malah sebaliknya. Dari mereka kecil hingga remaja, polanya selalu sama. Tupoksi antara yang dijaga dan yang menjaga sudah jelas.
Namun Lila tak bisa bersuara. Pikiran hanya tinggal wacana. Ia tidak mampu menjelaskan kepada Mama. Mama yang sedih, mama yang terluka.
"Iya, ma" Gadis itu mengangguk. Tak ada pilihan jawaban lain baginya.
Mama mengelus pelan rambut Lila. Memegang tangannya, lalu berkata lirih.
"Terimakasih"
Hati Lila seperti ditusuk. Hari ini, dua orang anggota keluarga Scheunemann mengucapkan terimakasih padanya. Satunya penuh rasa syukur. Satunya penuh rasa sedih. Kesamaannya; dua - duanya terdengar begitu tulus. Ketulusan kata yang tak pernah ia dengar dari keluarganya sendiri. Bahkan Mas Lanang sekalipun.
Dan malam berlanjut. Pesta hampir usai. Kabut mulai turun. Nyala api semakin redup.
Pagi harinya, Mama pergi. Diantar oleh Pakdhe Titus dan Juman ke Surabaya. Memulai karantina total di agensi, lalu berangkat beberapa hari kemudian.
Ke Arab Saudi, katanya.
Mendapat gaji tinggi untuk membayar hutang, katanya.
Tanpa pernah tahu yang akan terjadi sebenarnya. Mama tidak tahu. Pakdhe Titus tidak tahu. Anak - anak juga tidak tahu.
Keberangkatan ke Arab Saudi ternyata hanya janji palsu.
Dunia ini tidak sebaik itu kawan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Dia, Hujan dan Kisah Lama
RomanceTahun 1990, dia adalah sahabatku. Tahun 1995, dia adalah cinta pertamaku. Tahun 1996, dia adalah petunjuk arahku. Tahun 2010, dia adalah kenangan paling menyakitkan sekaligus paling indah dalam hidupku. Iya, dia. Kisah ini untuknya. Manusia pal...