Malang, 17 Januari 1995
Seminggu ini, waktu berjalan lamban. Sejak kejadian pada hari itu, segala hal mulai berjalan tidak semestinya. Bukit yang beberapa bulan ini begitu tenang tiba – tiba saja menjadi muram. Pakdhe Titus tak banyak bicara. Kesehatannya menurun. Waktunya dihabiskan dengan duduk – duduk santai di saung. Mama lebih aneh lagi. Sejak kamis minggu lalu, Mama yang biasa bekerja di kebun orang mulai jarang terlihat. Ia berangkat dini hari dan pulang arut. Lintang juga tak pernah terdengar bernyanyi. Bulan dan Lumbung lebih banyak keluar rumah. Bermain hingga petang. Dan manusia satu itu, Juman, lebih banyak diam dan memadatkan jadwalnya bekerja serabutan. Absen dari tim bola.
"Awakmu putus karo si bule a?"(1) Rofiq bertanya. Duduk di sebelah Lila yang sedang membaca buku biologi kelas 12.
"Putus piye. Aku ora pacaran!"(2) Jawab lila ketus. Refleks memukulkan buku setebal 200 halaman itu ke punggung Rofiq.
"Lara!"(3) Rofiq mengusap – usap punggungnya yang sakit.
"Tapi tenan loh. Cah kuwi dadi meneng. Ora kaya biasane. Aku iki konco sebangkune. Biasane deweke nek ngomong cas cis cus kaya kereta. Tapi saiki ora ana suarane"(4)
"Aku ra ngerti" (5)
Lila mengalihkan pandangan. Mulai membaca buku lagi. Meskipun kali ini tak ada satupun kata yang ia ingat. Semua hanya berlalu tanpa arti. Otaknya sedang bergumul dengan masalah lain. Tak bisa berpikir jernih. Sama penasarannya dengan Rofiq.
Seminggu ini ia dan Juman terpisah. Tidak berangkat dan pulang sekolah bersama lagi. Tidak pula berbicara. Sesi curhat malam hari via jendela juga terputus. Berkali – kali Lila mengetuk, jendela itu tetap tertutup. Menyebabkan ia menjadi seperti sepatu kiri yang kehilangan sepatu kanannya. Bingung. Sekaligus sebal. Apa karena ia tak sengaja mendengar semuanya? Hanya itu penjelasan logis dari semua urusan diam – mendiamkan ini.
Ini semua gara – gara orang jelek bernama Jo itu! Juga dua tikus raksasanya. Karena mereka, suasana yang damai tiba – tiba saja menjadi suram. Apa – apaan mereka. Datang tiba – tiba mencari keributan. Harusnya kan semua masalah bisa dibicarakan baik – baik. Tidak harus dengan kekerasan apalagi pelecehan.
Lonceng sekolah berbunyi. Jam istirahat selesai. Lila menutup buku. Bersama Rofiq berjalan berdampingan menuju kelas. Dari arah kantin, mereka melihat Juman berjalan cepat. Ada noda berbau masakan di bajunya. Hasil bekerja membantu Mbok Romi, ibu kantin yang tua renta. Mereka segera menyapa. Namun yang disapa hanya tersenyum tipis. Pergi begitu saja.
Menyebalkan sekali!
....
Malam yang mendung di Wonoketih. Langit hitam muram, penuh awan. Bintang dan bulan sama sekali tak terlihat. Bersembunyi dari pandangan manusia. Terangnya digantikan oleh lampu teplok.
Di rumah itu, aroma bawang – bawangan dan cabai tercium kuat. Bara api baru saja padam. Sepiring tumis genjer dan nasi tersaji. Lila, sang koki, bangga sekali dengan hasil masakannya hari ini. Enak sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Dia, Hujan dan Kisah Lama
RomansaTahun 1990, dia adalah sahabatku. Tahun 1995, dia adalah cinta pertamaku. Tahun 1996, dia adalah petunjuk arahku. Tahun 2010, dia adalah kenangan paling menyakitkan sekaligus paling indah dalam hidupku. Iya, dia. Kisah ini untuknya. Manusia pal...