1990 - Peri Sungguhan

21 3 0
                                    


~ Seseorang akan mengetuk pintumu tanpa permisi. Dan saat itu kamu tidak punya alasan untuk tidak mempersilahkannya masuk ~

Lila tak pernah melihat manusia seperti itu di desa ini. Di Surabaya mungkin ada beberapa. Namun di desa ini, rupa seperti anak laki – laki sangatlah langka. Ia tidak tahu bagaimana cara mendeskripsikan penampilannya. Dikatakan bersih, tidak juga. Wajahnya kusut seperti belum mandi beberapa hari. Dikatakan kotor, tidak juga. Kulitnya bening seperti porselen. Wajahnya seperti orang asing dengan sedikit sentuhan Indonesia. Matanya coklat, senada dengan rambutnya.

"Halo" Ucapnya sekali lagi. Berusaha ramah. Anehnya, yang disapa justru menampilkan raut pucat.

Hmmm, kenapa ya? Ia tidak mengerti. Ia coba tersenyum lagi. Dan si anak laki – laki itu justru semakin pucat.

Merasa seperti menyapa patung, Lila beranjak pergi. Membawa tas ranselnya yang sudah dipenuhi robekan kecil. Hari semakin terang. Perjalanan ke sekolah adalah 40 menit berjalan kaki. Melewati jalan setapak dan sedikit wilayah hutan. Jelas jika saat ini berangkat, Ia sudah cukup terlambat.

"Ayo budhal!" Teriak Mas Lanang dari halaman depan, mengajak segera berangkat.

Dua anak kecil itu keluar rumah, mengunci pintu, lalu sedikit melirik rumah sebelah. Tidak biasa, rumah sebelah yang sepi bak kuburan itu kali ini begitu ramai. Dari dalam rumah, terdengar tangis bayi, suara ocehan balita, juga suara fals anak perempuan yang menyanyikan lagu bintang kecil modifikasi. Sedikit sentuhan rock. Rumah itu terdengar ramai.Mas Lanang dan Lila saling berpandangan. Tak pernah mereka merasakan suasana seperti itu di atas bukit ini.

Mereka pergi dengan perasaan yang turut merasa hangat. Tapi ada satu yang mengusik pikiran Lila. 

Siapakah anak laki - laki tadi? 

.....

"Ma! Ada hantu. Wajahnya serem, pakai baju SD. Itu di rumah sebelah!"

Setelah sosok "hantu" itu pergi, Juman tergopoh – gopoh berlari menemui Mama di ruang tamu.  Anak laki – laki itu meringsek di balik pakaian ibunya. Menyembunyikan wajah seperti kucing dikejar anjing. Ia takut sekali. Apalagi mahluk itu sempat menyapa, sempat pula tersenyum. Bagaimana jika ia diikuti?

"Oh, itu anak – anak rumah sebelah. Ada dua anak kecil di rumah itu. Seumuran kamu mungkin. Tapi yang laki – laki sedikit lebih tua" timpal Pakdhe Titus sembari menyeruput kopinya.

"Bukan pakdhe. Bukan manusia. Wajahnya banyak luka. Biru – biru, benjol. Terus bajunya kotor. Serem banget pokoknya" Juman bercerita dengan nada bergetar. Matanya membulat serius.

Mendengar itu, Pakdhe Titus langsung berhenti meminum kopi. Ia menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Tangannya mengepal, wajahnya terlihat geram. Persis seperti Brutus yang sedang marah dalam serial popeye. 

"Anak – anak itu pasti kemarin dipukuli lagi. Aku keluar semalam, ngopi di desa sebelah. Jadi nggak tau kalau si sinting itu berulah lagi." Pakdhe Titus mencengkeram kain celananya.

"Si – sinting?" Mama menatap Pakdhe penuh tanda tanya.

"Iya, si sinting yang suka minum itu. Yang suka sekali mukul anak - anak tanpa sebab"

Suasana ruang tamu itu tiba – tiba menjadi sedikit canggung. Juman berhenti memeluk mama. Kini memilih duduk menunduk. Gadis kecil tadi ternyata bukan hantu. Ia menyesal sudah mengabaikannya tadi. Harusnya tadi ia balik menyapa. Bukan malah diam seperti penakut. Rasa bersalah mulai menyergap.

"Mas, kamu harus baik mereka ya" Mama mengelus kepala Juman. Anak laki – laki itu mengangguk. Hari ini, ia harus meminta maaf.

....

Malam menyelimuti seluruh Wonoketih. Gelap. Tak ada lampu.  Kabut mulai turun, membuat jarak pandang pendek. Lila merebahkan diri di kasur. Mas Lanang keluar entah kemana sedangkan si Buto Ijo sepertinya tidak pulang. 

Gadis itu termenung. Menatap langit – langit. Ia sendirian sekarang. Merasakan lebam wajahnya yang berdenyut. Saat sendirian seperti ini, pikirannya berkelana. Berusaha mencari film bahagia di dalam otak. Namun, seperti yang diduga, film bahagia itu tak kunjung ditemukan. Hanya film sedih yang tersedia, itupun dengan berbagai adegan mendramatisir.

Lila membalik badan. Menatap radio yang tergeletak di dekat lemari. Radio baru yang belum pernah dinyalakan. Radio yang menyimpan secuil jejak tentang dirinya yang ditinggalkan. 

Tiga bulan sudah ia di sini, dan tiga bulan pula ia merasa seperti tak punya rumah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tiga bulan sudah ia di sini, dan tiga bulan pula ia merasa seperti tak punya rumah. Homeless. Entah kemana ibunya sekarang. Lila bisa membayangkan ibunya tertawa. Beban terbesarnya sudah tak ada. Beban itu sudah lepas. Disingkirkan jauh, di suatu desa di antah berantah. Dititipkan pada pria pemabuk yang dengan sangat terpaksa menerimanya.

Pertanyaannya, mengapa ia tidak dititipkan ke panti asuhan? mengapa ia dititipkan ke rumah ini pada Ibu sendiri tahu kakaknya suka memukul?  Kakak yang bahkan tidak ia temui selama 10 tahun. Ini sangat aneh. Ratusan kali pun Lila berpikir, jawabannya tidak juga ia temukan. Maka, ia memutuskan untuk mengambil kesimpulan: bahwa ini merupakan hukuman. Ibu ingin menghukumnya. Menghukumnya karena lahir ke dunia.  

Hidup ini, tidak ada bagus – bagusnya. Seperti anjing liar, ditendang sana – sini.

Anehkah anak berusia 11 tahun rasanya seperti mau mati? Lila ingin mati saja. Toh hidup juga tidak berguna. Tapi jika dia mati, bagaimana mas Lanang? Mas Lanang akan sendirian lagi. Pikiran – pikiran buruk dan berbagai skenario gila mengusik. Bagaimana jika ia kabur saja bersama Mas Lanang? Hidup di jalanan, tanpa beban. Jadi pedagang asongan atau penyemir sepatu.

Kata teman – temannya di Surabaya dulu, jika seorang anak kecil bersedih, maka akan ada ibu peri datang dari kabut yang dingin, menghapuskan semua luka. Ah, tapi mana mungkin? Lila bergelung dalam selimut. Membenamkan diri. Hingga...

Tok..tok..

Suara ketukan mengusiknya. Lila terbangun. Bukan, bukan dari pintu. Suara ketukan itu jelas – jelas dari jendela.

Tok..tok..

Suara ketukan itu datang lagi. Lila berjalan menuju jendela. 

Dan seorang anak berdiri di luar. Seorang anak laki – laki. Anak laki – laki pucat yang ia temui pagi tadi. Anak laki – laki itu tersenyum. Senyum terang yang dihiasi cahaya kekuningan dari lampu teplok. Kontras dengan gelap di sekitarnya.

Lila terkesiap. Peri ternyata bukan omong kosong belaka. 


Tentang Dia, Hujan dan Kisah LamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang