Bab 3 - Kasus Yang Berkaitan

22 3 0
                                    

Hidup tidak pernah mudah. Ada pekerjaan yang harus dilakukan dan kewajiban yang harus di penuhi. Kewajiban terhadap kebenaran, keadilan dan kebebasan.

-John F. Kennedy-

☆☆☆

Sagara bersiul pelan sambil menuruni anak tangga dan memainkan kunci mobil di tangannya. Ia menuju ke dapur dan mendapati mamanya yang sedang menyiapkan sarapan untuk keluarga mereka. "Morning, ma," sapanya diikuti satu kecupan singkat di pipi sang ibu.

"Morning. Kamu mau kemana?" tanya Liana saat memperhatikan Sagara yang sudah rapi dengan pakaian kasualnya.

"Ke apartemen Panji. Ada urusan sebentar," jawab Sagara sambil membawa sepiring tempe dan tahu goreng ke meja makan.

"Bukannya kemarin kalian udah ketemu?" tanya Liana lagi.

"Kemarin cuma basa-basi aja, ma. Hari ini ada yang mau dibahas," jelas Sagara lagi, kali ini sambil mencomot sepotong tempe yang masih cukup panas.

Liana meletakkan mangkuk besar berisi sayur asem di meja makan sambil bertanya, "Bahas persiapan pernikahan Panji sama Sandra ya?"

"Nggak kok," balas Sagara cepat.

"Ga, kamu kapan?" tanya Liana dengan raut wajah penuh harapan.

Sagara memutar bola matanya dengan jengah. Ia sudah menduga pertanyaan itu pasti akan terlontar lagi dari mulut mamanya. "Kapan apanya?"

"Kapan bawa calon kamu ke rumah?"

"Mama apaan sih."

"Kamu tuh ngejar penjahat terus. Ngejar perempuan kapan?"

"Loh, mama jangan salah ya. Sekarang ini banyak banget perempuan yang jadi penjahat, apalagi pembunuh. Seringkali mereka jauh lebih sadis daripada pembunuh laki-laki. Bahkan ada beberapa yang memang bekerja sebagai pembunuh bayaran. Mereka nggak segan-segan memutilasi dan..."

"Stop!" Liana menutup telinganya seketika dan melotot tajam pada Sagara yang justru terkikik geli.

"Ya udah. Aku berangkat ya," kata Sagara sambil mencium tangan Liana.

"Sarapan dulu."

Sagara kembali mengambil sepotong tempe dan melahapnya. "Udah," ujarnya sambil berlari kecil meninggalkan meja makan.

Liana menggerutu kesal.

Tak lama kemudian Lazuardhi muncul di meja makan, ia sudah rapi dengan pakaian dinas hariannya. "Kenapa, ma?" tanyanya sambil duduk di kursi dan menyeruput air jahe hangat di cangkirnya.

"Anak kamu tuh!" gerutu Liana.

"Sagara atau si kembar?" Lazuardhi bertanya dengan nada ringan.

"Sagara."

"No comment," tanggap Lazuardhi cepat.

"Kok no comment sih?" protes Liana.

Lazuardhi meletakkan kembali cangkir minumannya di meja dan menatap Liana cukup lama sebelum kemudian berkata. "Sagara tahu apa yang terbaik untuk dirinya sendiri. Kita nggak perlu menekannya untuk cepat-cepat ini dan itu. Nanti kalau sudah ketemu jodohnya, pasti akan menikah juga kok," ujarnya sambil mengusap punggung tangan istrinya itu untuk menenangkannya.

Liana tidak berkomentar lebih jauh meskipun sebenarnya ia masih ingin mendebatkan hal ini dengan suaminya, namun mengingat pekerjaan Sagara saat ini yang seringkali tidak terprediksi membuatnya bisa sedikit memaklumi jika menjalin sebuah hubungan serius dengan seorang wanita belum menjadi prioritas utama anak sulungnya itu.

RAJAPATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang