Bab 1

10 1 0
                                    

Pukul lima petang.

Diluar sedang hujan diiringi kilatan petir yang menyambar, angin yang berkesiur, udara terasa lembab dan dingin. Lorong-lorong rumah sakit kosong, hanya menyisakan aku yang termenung melihat hujan. Tanaman disekitar basah, juga dengan lantainya yang kotor bekas pijakan kaki entah siapa.

Sudah satu minggu aku di sini, di temani mama yang sedang keluar membeli roti. Perasaan senang dalam diriku membuat lekukan indah di bibir. Mama sudah berjalan kembali ke arahku dengan menenteng sebungkus roti di tangannya.

“Tadi penjual rotinya mau tutup, tapi untung saja mama cepat, jadi bisa keburu buat beli roti.” mama menyimpan payungnya di bawah lantai. Sengaja tidak dilipat karena masih basah.

"Maaf ma, Meyta merepotkan mama." kataku dan menerima roti dari tangan mama.

"Nggak apa-apa, kamu kan nggak bisa keluar. Kita masuk Mey, diluar dingin."

Aku mengangguk seraya berjalan berdampingan dengan mama. Ruang kamar ku berada di paling ujung. Paling dekat dengan bangsal 'penjara'. Bangsal yang pintunya dilapisi besi, di gembok dengan kunci besar hingga tidak bisa keluar masuk dengan seenaknya.

Setiap malam, selalu terdengar suara teriakan minta di bebaskan atau berteriak hanya untuk minta sebatang rokok sudah jadi nyanyian pengantar tidur bagiku. Tak ayal aku kerap kali tidak bisa tidur, menunggu beberapa saat agar suara teriakan itu berhenti dan aku bisa beristirahat dengan tenang.

"Sepertinya besok kamu bisa pulang, Mey." ranjangku paling ujung, dekat pintu masuk. Di ruangan ini aku bersama tiga pasien lainnya. Mama duduk di atas ranjang, sambil
menyandarkan punggungnya ke dinding.

"Oh ya? Kok bisa?" tanyaku antusias.

"Dokter Hans bilang seperti itu tadi siang, kondisimu sudah membaik setelah dirawat. Jadi besok bisa pulang dengan catatan harus kontrol setiap bulan."

"Masih harus minum obat?" aku berkata sambil melahap roti yang mama beli.

"Iya, masih harus minum obat, biar pemulihannya cepat"

"Waktu pertama kali Meyta dirawat, dokter Hans bilang seperti itu ma, tapi Meyta masih harus dirawat satu minggu."

Aku mengidap gangguan mental. Bipolar disorder. Penyakit yang sedang menjadi trend belakangan ini. Namun, aku tidak ikut-ikutan. Sudah hampir dua tahun aku harus mengonsumsi obat-obatan untuk mengatur mood ku yang sering tidak karuan. Harus minum obat tidur yang seringkali membuat kepalaku pusing hingga aku tidak bisa bangkit dari tempat tidur.

Karena penyakit ku ini, sosok laki-laki yang harusnya jadi cinta pertama seorang anak perempuan itu pergi meninggalkanku. Meninggalkanku dan mama. Ia malu mempunyai anak yang gila seperti ku katanya. Tapi sudahlah, dalam cerita ini aku tidak akan menceritakannya walau satu kalimat.

Mama menatapku haru. Tatapan yang sama seperti dua tahun lalu. Perasaan seorang ibu tidak pernah bohong pada anaknya.

Waktu itu, aku sudah putus asa untuk hidup. Sudah tidak bisa menahan hasrat untuk melakukan hal-hal yang tidak terduga. Aku juga sering keluar masuk IGD dan pingsan beberapa kali di sekolah. Untungnya, Tuhan masih mau aku hidup, padahal aku sering kali memaksa untuk pulang.

Waktu itu, mama bertanya "Kamu ada masalah apa?"

Aku menangis. Badanku terasa berat. Entah perasaan apa ini, rasa-rasanya teriak pun akan kehilangan pita suara. Aku meringkuk dalam pelukan mama.

"Sakit ma, sakit." hanya itu yang bisa aku katakan, hanya rasa sakit yang aku rasakan waktu itu.

Rasa sakit yang begitu menyayat hati, yang menjadi alasan aku untuk menyerah. Setelah itu, mama mengajakku ke rumah sakit. Bertemu psikiater untuk konsultasi. Lantas aku di diagnosis bipolar.

Tawanan KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang