9

9 4 1
                                    

"Lo kalo ga usah deket deket ama Radit bisa ga sih?!" Naufal sedikit membentak Fara karena ia sudah terlanjur kesal. Perempuan itu terus mendekati Radit dan menyentuhnya.

Naufal mendorong Fara untuk menjauh dari tubuh Radit. Lalu sebelum perempuan itu mendekati Radit lagi, ia memeluk temannya terlebih dahulu. Mendekapnya erat, dan menatap Fara mendelik. "Jauh jauh sana, Radit mau nya sama gue, lo bau," Naufal menjulurkan lidahnya mengejek Fara.

Fara menggeram marah. Ia ingin memukul Naufal, namun ia tahan karena image nya harus terjaga di depan orang yang ia suka. "Radit, kamu risih ga sih ditempelin sama makhluk ga jelas kayak Naufal?" Fara mengeluarkan nada imut yang dibuat buat. Ia berpikir bahwa suaranya sangat menggemaskan.

"Udah, mending kalian diem." Radit menarik napas lalu membuangnya. Kepalanya ia hadapkan pada Naufal. "Fal, Fara gausah di notis, kamu anteng duduk di sini aja, ngerti?" Radit mencubit pipi Naufal terlebih dahulu sebelum memfokuskan sebagian atensinya untuk mengajari Fara materi yang perempuan itu minta.

"Diit, kapan ini selesaii?" Radit tak menjawab pertanyaan Naufal, ia hanya mengelus surai lelaki itu selagi sempat. Naufal mendengus, ia hanya bisa membiarkan Radit melakukan tugas pemuda itu.

Tak lama kemudian, Radit menyudahi sesi memberikan materi pada Fara. Naufal memekik antusias, itu artinya ia tak akan bertemu Fara lagi hari ini. "Dah sana, mending lo cepetan balik," mereka bertiga bangkit dari karpet.

Fara mendekat pada Radit, "anterin aku pulang, yuk Dit," kini gantian Naufal yang mendekati Radit. Namun tatapan matanya tertuju pada Fara. "Bacot lo anak kunti. Sana balik sendiri," lagi lagi Fara harus bersabar untuk tidak menonjok Naufal. "Kamu ga mau Dit?" Di sini Naufal yang merasa panas.

"Radit ga bakal mau, ya kan Dit?" Tapi jawaban Radit di luar perkiraannya. Lelaki itu mengangguk, mengiyakan ajakan Fara untuk mengantarkan gadis itu pulang ke rumahnya.

"Kenapa ngangguk?! Udah, paling bener tu lo di sini ajaaa," Naufal menghentakkan kakinya kesal. Ia mencubit beberapa kali lengan Radit. "Fara perempuan, Fal. Tunggu aku ya? Cuma bentar kok, janji," Naufal mengerucutkan bibirnya, ia terpaksa mengangguk.

"Abis nganter Fara beliin permen ya!" Radit mengangguk gemas. Terakhir sebelum ia pergi, Radit mengusak surai Naufal. Sedangkan di sisi Fara, perempuan itu tak bisa menahan ekspresi senangnya. Berulang kali ia menatap mengejek pada Naufal.

'Aku menang, anak sialan,'  batin Fara tersenyum jahat, sudah seperti pemeran antagonis.

•○●

Satu jam Naufal menunggu Radit. Lelaki itu sudah memasang wajah muram. Ia dongkol, kenapa Radit tak segera kembali?!

"Oh, Naufal, kamu masih di sini? Tante kira ikut Radit pergi tadi," Ibu Radit turun dari lantai atas. Ia berjalan anggun menuju Naufal. "Hum? Ia nih tante, Radit tadi bilangnya cuma sebentar, tapi udah satu jam aku nunggu di sini," ia tak bisa menahan ekspresinya. Naufal benar benar kesal, wajah cemberutnya kentara sekali.

"Anak itu benar benar. Tunggu sedikit lagi ya, kalo emang ga lekas balik, nanti tante telepon," Naufal mengangguk. Ibu Radit pun setelah mengusak rambut Naufal, ia pergi dari hadapan lelaki itu.

Tak lama, pintu depan terbuka, menampilkan sosok Radit. Naufal mungkin memang tersenyum, namun rasa kesalnya lebih mendominasi. Ia tak ingin menatap Radit. Pandangannya lurus ke depan, bukan pada Radit.

Radit mendekati Naufal. Mengambil telapak tangan temannya dan memainkan jari pemuda itu dengan tenang. "Fal? Maaf, tadi Fara minta anterin ke toko kue, dia bilang buat ulang tahun mamanya." Katanya pelan, mencoba menarik simpati Naufal.

Naufal tetap diam, ia mendiami Radit meski jarinya dimainkan oleh lelaki itu. "Fal? Jangan marah, aku bener bener minta maaf. Dan, ini, aku juga udah beli permen," Radit memberikan bingkisan plastik berisi empat permen lolipon warna warni.

Naufal sedikit tergiur dengan tampang para permen yang dibeli Radit. Tapi ia masih kesal, Radit tak menepati janjinya untuk kembali ke rumah lebih cepat.

"Kamu ga mau? Yaudah deh, aku kasih ke Aksa aja." Radit memasukkan empat lolipop itu pada bingkisan plastik. Ia juga bangkit dari duduknya. Berharap Naufal meresponnya, setidaknya entah dengan marah, atau bahkan menangis.

Tapi yang didapatkannya, tidak ada. Ruang keluarga itu tetap hening. Naufal tak memberikan reaksi.

Radit semakin merasa bersalah. Tentang lolipop yang katanya akan diberikan pada Aksa, itu hanya tipuan. Mana tega ia melakukan itu. Jadi, Radit kembali duduk di samping Naufal.

"Aku bukain ya?" Radit membuka plastik yang menutupi bagian manis lolipop itu. Dan ia memberikannya pada Naufal. "Fal? Maafin aku, aku ga tau kalo Fara bakalan bilang begitu," ia terus memegang tusukan berkepala manisan dengan diam.

"Lo bohong, tadi bilangnya sebentar..." Naufal menunduk, memainkan jari-jarinya.

"Iya, aku minta maaf karena gak nepatin janji kamu tadi," Radit menyentuh tangan Naufal, mengelus permukaan halus itu pelan. "Makan dulu lolipopnya, ya? Kasian, udah dibuka nanti kalo ga lekas dimakan, lolipop ini kedinginan," Radit masih berusaha membujuk Naufal.

"Besok besok ga usah sama Fara lagi," Radit tersenyum, ia mengangguk, mencoba memperbaiki dirinya agar tak mudah diperguna oleh siapapun kecuali keluarga dan juga Naufal.

"Pesawat datang~" Naufal membuka mulut, menerima lolipop dari tangan Radit. Ia dengan senang hati memegang tusuk lolipop itu. "Gue masih marah, ya," Radit terkejut, ia kira Naufal sudah memaafkannya.

"Aku harus apa biar kamu maafin?"

"Ga tau, pikir aja sendiri."

•○●

Hari sudah berganti, kini Minggu di rumah Naufal.

Rumah itu tampak sepi, seperti tak ada kehidupan. Dimulai dari bangunnya Ian, adik Naufal itu pergi ke kamar sebelah yakni kamar sang kakak. Berniat membangunkan kakaknya yang kelewat malas itu.

"Kak, bangun, udah jam tujuh," Ian mengguncang tubuh Naufal pelan. Ia sebenarnya tak ingin membangunkan Naufal, karena ia tau, Naufal masih membutuhkan istirahat yang cukup. Kakaknya itu sering kali pergi pada malam hari, entah itu nongkrong, pergi ke rumah teman, atau hanya mencari angin.

Memang, seharusnya Ian sebagai adik, ia harus memberi tahu Naufal agar memperhatikan kesehatannya juga, tapi lagi lagi ia juga tau, Naufal tak semudah itu untuk diberi tau.

"Kakak, bangun yuk, udah pagi," Ian menekan nekan pipi gembil Naufal. Kakaknya kelewat menggemaskan, ia beruntung memiliki kakak seperti Naufal, tak terlalu beruntung sih, karena Naufal jarang memberikan afeksi lebih padanya, pada Ian.

Karena terus merasakan goncangan pada tubuh, Naufal mengerjab pelan. Ia menggeliat, lalu menatap adiknya. "Lo yang bangunin gue?" Ian mengangguk. Ia tersenyum melihat betapa berantakannya tampang Naufal saat ini. Air liur yang mengering pada sekitaran mulut, juga mata yang masih terpejam sedikit.

"Udah pagi kak," Naufal hanya mengangguk. Ia bangkit dari ranjang, pergi ke kamar mandi. Ian mengikuti Naufal, meski sudah menggerakkan tubuh sampai kamar kakaknya, namun ia belum mencuci muka.

"Mami Papi ga nelepon rumah?" Tanya Naufal disela sela meratakan sabun muka di wajahnya. Ian menggeleng pelan, raut wajahnya berubah muram, tapi sebisa mungkin ia tersenyum agar Naufal tak tertular rasa sedihnya.

"Memang bajingan dua orang itu. Udah bener bener ga inget kalo punya anak di rumah," gerutu Naufal dengan suara lirih. Ian juga mendengar, tapi ia tak memberi respon, hanya diam memperhatikan.

Sunshine Becomes YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang