1

21 5 0
                                    

Malam hari di rumah Radit. Ia sedang mengemasi buku bukunya, dipilih yang akan dibawanya ke sekolah dan sisanya ia rapikan di rak buku.

Yang orang tau, Radit ini adalah seorang pendiam. Ia jarang berbicara, setidaknya di sekolah. Di rumah, yaa, ia banyak diamnya sih ketimbang berbicara dengan keluarga.

Ketika akan berbaring di atas ranjang, tiba-tiba adiknya; Aksa, membuka pintu kamar Radit. Ia tersenyum penuh arti.

"Kakak, besok antarkan Aksa ke rumah temen Aksa mau ga?" Tanyanya penuh harap. Aksa sebisa mungkin membuat mimik wajahnya menjadi imut, menurut dia saja sih.

Ketika adiknya berkata seperti itu, mau tak mau Radit mengangguk. Ya gimana, ia termasuk kakak yang sayang adik. Apalagi adiknya manis, meski lelaki.

"Terima kasih! Mau kecupan selamat malam ga?" Aksa mendekat ke arah Radit. Ia memeluk kakaknya itu dengan manja. Sedangkan Radit, ia menghela napas, lagi, ia hanya bisa mengangguk.

"Oke!" Adik Radit itu sedikit menjijitkan kakinya agar bisa mencapai tinggi sang kakak. Karena Radit cukup peka, ia ikut mencondongkan tubuhnya.

muach!

"Aksa tidur dulu, yaa, byee." Radit tersenyum. Ah, manis sekali adiknya ini.

Kembali, Radit menidurkan badannya di atas ranjang. Ia akhir-akhir ini merasa bingung dengan isi pikirannya sendiri.

Seminggu yang lalu, Radit tak sengaja melihat lelaki yang berwajah keren ketika semua angkatannya melaksanakan pramuka, lelaki itu terus tersenyum bahkan ketika tak sengaja melakukan kontak mata padanya.

Radit seperti salah tingkah, sial, lelaki keren itu sangat tampan, dan manis.

Radit menghela napas, berharap kekasihnya dimasa depan nanti adalah anak yang sopan, manis dan murah senyum. Oh, apakah aku baru saja menyebutkan tipe ideal Radit?

Tak lama, ia tertidur. Dengan nyenyak, memimpikan banyak hal yang tidak akan ia ingat keesokan harinya.

•○●

Pagi hari di hari Selasa.

Radit mulai bersiap-siap untuk berangkat ke sekolahnya. Aksa sudah berangkat duluan, karena anak itu suka sekali datang sebagai murid pertama di sekolahnya.

Radit dan Aksa memiliki jarak umur yang cukup jauh selisihnya. Dengan Radit kelas sebelas SMA, dan sang adik kelas 6 SD.

Singkat waktu, Radit sudah pulang sekolah, sekitar jam dua siang.

Saat ingin mencuci piring bekas makan, Aksa datang menghampiri kakaknya. Ia berdiri dengan tak adanya jarak di sebelah Radit.

"Kakak, jam setengah tiga ya," Radit mengernyit. Sepertinya ia lupa. "Kenapa?" Tanyanya dengan suara pelan. Entahlah, suara Radit memang pelan mungkin akibat betapa jarangnya ia berbicara.

"Ih, masa kakak lupa. Itu loh, anterin aku ke rumah temenku." Aksa mengerucutkan bibirnya kesal. Sedangkan Radit terkekeh, merutuki otaknya yang mudah lupa itu.

Setelahnya, Radit mengangguk.

•○●

Ketika perjalanan menuju rumah teman Aksa, Radit terus diam mendengarkan Aksa bercerita kesehariannya di sekolah hari ini.

"Kakak tau, tadi pak Abim marah loh sama temen Aksa. Soalnya temennya Aksa itu ga ngerjain PR. Ih, untung aku selalu ngerjain PR tepat waktu, ya ga kak?" Lagi, Radit hanya mengangguk. Aksa pun sudah terbiasa dengan segala respon kakaknya.

"Kak, langitnya mendung banget, ya," pernyataan itu membuat Radit reflek melihat luar jendela mobil. Ia mengangguk untuk dirinya sendiri. Benar, sekarang langitnya sudah seperti malam hari, sangat gelap.

"Gerimis." ujar Aksa ketika melihat rintik rintik di jendela mobil. "Tenang kak, bentar lagi sampe kok."

•○●

Sampailah mereka berdua di rumah teman Aksa. Radit kedinginan karena disaat hujan memang sangatlah dingin. Dan juga, ia benci ketika merasa dingin, karena itu akan membuat tengkuknya merinding.

Setelah memarkirkan mobil di tempat teduh depan rumah teman Aksa, Aksa dan Radit keluar dari mobil. Sebenarnya Radit ingin pulang saja, tapi ternyata ia tak bisa menolak ajakan adik manisnya ini untuk tetap bersama.

"Dingin, dek, kakak pulang aja ya?" Tanya Radit perlahan, mencoba menarik simpati adiknya.

Aksa menggeleng, berjalan mendekati sang kakak. Dipeluklah Radit oleh tubuh pendek itu.

"Kenapa tidak boleh?" Aksa hanya menggeleng.

Saat sampai tepat di depan pintu masuk rumah teman Aksa, anak itu memencet bel rumah ini.

Tak lama, keluarlah lelaki dengan celana yang hanya setengah paha, juga kaos tanpa lengan. Radit tercengang melihat pemandangan di depannya.

apa ia tak kedinginan?!

Lagi, Radit harus merasakan terkejut lagi karena lelaki dengan pakaian yang cukup seksi itu ternyata salah satu teman angkatannya.

"Temennya Ian ya," tanya lelaki itu sembari memasukkan jari kelingkingnya ke dalam lubang hidung, re; mengupil. Aksa mengangguk ribut. Ia tak sabar bertemu temannya.

"Ada kan bang?" Lelaki berpakaian seksi itu mengangguk. Kemudian menyuruh Aksa dan Radit untuk mengikutinya masuk ke dalam rumah.

Sampailah Radit dan Aksa di dalam rumah Ian, atau teman Aksa.

Radit terpaksa duduk di sofa ruang tamu sendirian karena Aksa ternyata memilih ke kamar Ian. Tau begini lebih baik tadi pulang saja.

Radit sibuk membalasi pesan teman temannya. Memang, temannya banyak, namun sebagian besar dari mereka, berjenis kelamin perempuan. Ini termasuk anugrah atau nasib berwajah tampan, Radit tak tau.

Saat sibuk membalas chat, lelaki berbaju seksi tadi menghampiri Radit. Ia duduk dengan penuh percaya diri, sembari membawa kopi hitam untuknya dan untuk Radit.

"Kasian bet lo ditinggal adek lo." Radit hanya tersenyum. Ia tak berani menatap lelaki itu, karena stel pakaian yang ia pakai benar benar menampilkan hampir sebagian kulit. Apalagi kaos tanpa lengannya sangat tipis, hampir transparan.

"Gue kayak pernah liat lo di suatu tempat deh," lelaki itu mengelus dagunya seolah berpikir. "Di sekolah, apa ya," orang itu sok mengangguk anggukkan kepalanya, membenarkan tebakan asal yang memang benar itu.

"Sapa nama lo? Diem diem bae," lelaki tadi mengalih penuh atensinya pada Radit. "Anu, baju lo," ujar Radit pelan. Hei, mau dibiarkan pun tak bisa karena Radit juga seorang lelaki yang memiliki nafsu.

"Baju gue kenapa? Normal kan?" Radit menggeleng, bergumam, "lupakan," pada lelaki berpakaian seksi tersebut.

"Yaudah deh, gue dulu aja yang perkenalan. Nama gue Naufal, udah si itu aja," Radit mengangguk. "Radit," jawabnya pelan.

Posisi Radit cukup susah, ia ingin menatap sang lawan bicara, namun kehalang baju seksi sialan itu.

"Gue tau nih, yaudah deh tunggu bentar ya," Naufal beranjak dari sofa. Entah, mungkin ingin pergi ke kamarnya. Karena saat kembali, ia sudah berpakaian yang sangat bisa dilihat orang.

Celana panjang dan jaket.

"Aman, kan? Sorry ya, soalnya gue setiap hari make baju baju gituan. Dulu pernah gara gara celana pendek kesayangan gue itu, gue digoda ma laki laki duda."

Radit memikirkannya saja sudah ngeri. Naufal juga, kenapa berani banget, sih?

Sunshine Becomes YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang